1. KESEMPURNAAN AKAL
Saat seseorang mendapati teman yang selalu memberi
kritik membangun, dan ia senang dengan hal itu, petanda kesempurnaan
akal. Sebaliknya, pada saat ia dikritik ia tidak mau menerima, itu
artinya ia menganggap pendapatnya yang terbaik, ingin menang sendiri,
egois, selalu mencari kesalahan orang lain dan selalu hendak menjadi
nomor satu, meskipun ia tak layak. Seharusnya, pendapat dari siapapun
tidak boleh dipandang sebelah mata, harusnya dipikir masak-masak, ambil
yang baik dan tinggalkan selainnya. Orang lainlah yang lebih bisa
meneliti diri kita ketimbang diri kita sendiri. Ibarat seorang yang baru
terjaga dari tidurnya, lantas diingatkan, “Matamu ada kotorannya.” Atau
orang yang berkata, “Pakainmu kurang rapi.”
Hal demikian ini jangan
dipandang sebagai upaya menjatuhkan harga diri. Mestinya ia berkata,
“Terima kasih, kamu temanku yang paling perhatian kepadaku.”
Kesempurnaan seseorang akan terbukti jika ia mau mengakui keunggulan
teman sebayanya. Ingat, kalau ia merasa unggul dari orang lain, dia
adalah orang yang bodoh. Selain itu, ini juga suatu isyarat hendaknya
kita dalam segala hal mendasarkannya dengan prasangka baik. Sikap
semacam penting digaris bawahi agar tidak melihat semua orang sebagai
lawan, semua orang jelek. Husnuddzan kepada hamba termasuk perangai
terbaik.
Nabi SAW bersabda: خَصْلَتاَنِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا خَيْرٌ مِنْهُمَا:
حُسْنُ الظَّنِّ بِاللهِ وَحُسْنُ الظَّنِّ بِعِباَدِ اللهِ “Ada dua
perangai dimana tidak ada yang lebih baik dari selainnya: baik sangka
kepada Allah dan kepada hamba-hamba-Nya.” Bagaimana bentuk berprsangka
baik kepada Allah? Ambil misal, hari ini pasaran kita lagi seret, toko
mengalami kemerosotan omzet. Kita berucap, “Allah menghendaki aku untuk
lebih banyak memohon kepada-Nya sekarang. Hari ini tak ada pembeli,
mungkin besok ada. Yang jelas Allah ingin menguji kesabaranku dan
ridhaku kepada-Nya.” Akan tetapi, ada sebagian orang yang mendapati
rizqinya seret berkata, “Kenapa si Allah tidak membuat tokoku laris
padahal aku tadi sudah salat, apakah Allah sudah tidak suka kepadaku,
benci kepadaku?” Bandingkan dengan misal berikutnya, ketika kita sedang
sakit, pergi ke dokter dengan berprasangka baik sekalipun si dokter
mengeluarkan jarum suntik. Tapi berhubung kita sudah yakin dengannya,
kita mantap saja bahwa dokter tidak mungkin mencelakakan, ia ingin
mengobati. Kenapa hal demikian tak terwujud kepada Allah. Inilah yang
dinamakan Husnuddzan kepada Allah.
Yang kedua husnuddzan kepada para
hamba Allah.
Allah SWT. berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ “Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa…” (QS. Al-Hujurat: 12) Berangkat
dari ayat ini, kita dilarang bersikap apriori kepada orang lain, baik
saat ia mengkritik atau menasihati. Tentunya, tidak untuk semua orang
bisa kita sangka baik. Ada saatnya kita harus waspada khususnya dalam
hal ini kepada orang-orang Nashrani, Yahudi, kaum Kafir, betapapun
baiknya. Prasangka itu ada yang bagus tapi kebanyakan jelek.
2. KERENDAHAN HATI
Bukti nyata kerendahan hati misalnya, ada seorang
pejabat. Seharusnya ia ditempatkan di tempat yang terhormat namun
ternyata ditempatkan di tempat yang bukan selayaknya untuk orang sekelas
pejabat, tapi ia tidak marah, berarti ia orang yang rendah hati. Ia
rela menerima perlakuan demikian, maka itu bukti jelas dari
ke-tawadhuan-nya. Tidak semua orang bisa seperti ini. Orang semacam ini
disinggung oleh Nabi, “Tidaklah seorang hamba ber-tawadhu` karena Allah
kecuali diangkat derajatnya oleh-Nya.”
Contoh sikap rendah hati Nabi SAW
bahwa diriwayatkan beliau makan bersama para sahabatnya. Sudah pasti
tempat Nabi SAW paling istimewa. Di sela-sela pejamuan itu, ada seorang
peminta, orang yang sudah tua sekali saking tuanya tidak bisa mengurus
badan hingga mengeluarkan aroma tak sedap. Ia datang minta makan.
Pengemis tersebut diizinkan masuk dengan disambut oleh Rasululah dengan
sambutan luar biasa seakan-akan beliau hendak memangkunya. Saat itu, ada
seorang keturunan Quraish merasa jijik melihat pnegemis tua yang
kelaparan tadi. Ia dihukum dengan dipanjangkan usianya seperti umur
orang tua itu yang orang-orang merasa jijik darinya. Diriwayatkan, bahwa
Rasulullah berjalan di sebuah kampung.
Di situ beliau mendapati
perempuan menangis di kuburan anaknya. Kata Rasul menasihati, “Hai
perempuan, jangan begitu, bertakwalah pada Allah dan bersabarlah.” “Kamu
memang tidak kena musibah, sedang aku ditinggal mati anakku yang
kusayang,” timpal perempuan yang tak mengenali sosok Nabi. Ditegurlah
oleh sahabat yang melihat kejadian itu, “Apa kamu tahu siapa dia? Dia
Muhammad Rasulullah.” Datanglah ia ke rumah Rasululah, “Ya Rasululah,
saya tidak tahu kalau Anda yang nasihati, saya minta maaf.” “Tidak
masalah, tapi yang terpenting itu, kamu bersabar pada saat terjadinya
musibah yang pertama.” Habib Saleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul), juga
patut dicatat dalam soal rendah hati.
Bukan hal baru jika rumahnya
sering dijujuki para tamu dari berbagai daerah. Pada jam dua, salah satu
tamunya mau buang air kecil, di muka rumah Habib Saleh ada dua kamar
mandi, waktu itu belum ada listrik. Ternyata di kamar mandi ada orang
mengenakan kaos dan sarung sedang menimba air untuk kolam kamar mandi.
Dilihat ternyata Habib Saleh dan beliau wanti-wanti kepada tamunya yang
memergoki beliau untuk tidak bilang ke siapapun. “Tidur kembali ke
kamarmu dan g usah ngomong-ngomong,” kata Habib Saleh. Paginya, Habib
Saleh dengan pakaian rapi, menerima tamu dengan penuh keramahan hingga
membuat tamu yang semalam terbengong-bengong heran melihat sikap beliau
yang begitu sederhana.
3. KEIKHLASAN
Bukti nyata keikhlasan ialah tidak mencari ‘muka’ pada
makhluk, tidak mencari ridhanya makhluk ketika dia membawa kebenaran.
Ikhlas, berarti tidak mengharapkan pujian, menjalankan kebenaran tanpa
memperhatikan manusia itu senang atau tidak padanya. Seorang yang ikhlas
tidak pernah berubah prinsip. Dalam Al-Quran diterangkan “Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110) Ayat ini turun berkenaan seseorang
yang berbuat amal saleh.
Dalam hatinya ada dua harapan: amal karena
Allah dan ingin dipuji oleh orang. Dengan kata lain, amalan orang ini
belum berstatus ikhlas sebab masih ada embel-embelnya. Maka dari itu,
bila seorang yang telah menunaikan haji merasa sewot bila tidak
dipanggil, “Pak Haji, Bu Haji,” jelas belum sampai ke maqam ikhlas atau
ustadz yang tidak dipanggil denga gelar ke-ustaz-annya. Karenanya, jangan
kita mencari ridha makhluk, yang penting kita terus beramal sesuai
ajaran agama Allah. Jalani saja aktivitas ibadah.
Lihat keluarga Nabi,
Sayyidina Ali dan Fatimah yang dipuji oleh Allah karena keikhlasannya
membantu orang lain, tidak mengharap ucapan terima kasih atau balasan
selain dari Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari
kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insan: 09) Ikhlas,
tawadhu`, dan husnuddzan (mengakui keunggulan teman sebaya), merupakan
tiga pionir dalam mengisi hari-hari dengan kesalehan ritual maupun
sosial. Dengan ketiganya, kita cucup ridha Allah, menyingkirkan rasa
sombong, riya`, bangga diri yang hinggap di hati. “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 05).
0 komentar:
Posting Komentar