"Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui,
niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis." (HR. Bukhari
dan Muslim)
Indahnya hidup dengan merasakan lezatnya iman. Saat itulah terasa bahwa dunia bukan segala-galanya. Ada yang jauh lebih besar dari yang ada di depan mata. Semuanya teramat kecil dibanding dengan balasan dan siksa Allah swt. Bagaimana cara menghias hati kita??? berikut beberapa cara yang bisa kita lakuakan untuk menghias hati :
1. Menyadari bahwa dosa diri tak akan terpikul di pundak orang lain
Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.
Siapa pun kita, jangan pernah berpikir bahwa dosa-dosa yang telah dilakukan akan terpikul di pundak orang lain. Siapa pun. Pemimpinkah, tokoh yang punya banyak pengikutkah, orang kayakah. Semua kebaikan dan keburukan akan kembali ke pelakunya.
Maha Benar
Allah dengan firman-Nya dalam surah Al-An'am ayat 164. "...Dan tidaklah
seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
Lalu,
pernahkah kita menghitung-hitung dosa yang telah kita lakukan. Seberapa
banyak dan besar dosa-dosa itu. Jangan-jangan, hitungannya tak beda
dengan jumlah nikmat Allah yang kita terima. Atau bahkan, jauh lebih
banyak lagi.
Masihkah kita merasa aman dengan
mutu diri seperti itu. Belumkah tersadar kalau tak seorang pun mampu
menjamin bahwa esok kita belum berpisah dengan dunia. Belumkah tersadar
kalau tak seorang pun bisa yakin bahwa esok ia masih bisa beramal.
Belumkah tersadar kalau kelak masing-masing kita sibuk
mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.
2. Menyadari bahwa diri teramat hina di hadapan Yang Maha Agung
Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.
Di antara keindahan iman adalah anugerah pemahaman bahwa kita begitu hina di hadapan Allah swt. Saat itulah, seorang hamba menemukan jati diri yang sebenarnya. Ia datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa. Dan akan kembali dengan selembar kain putih. Itu pun karena jasa baik orang lain.
Apa yang kita dapatkan pun tak lebih
dari anugerah Allah yang tersalur lewat lingkungan. Kita pandai karena
orang tua menyekolah kita. Seperi itulah sunnatullah yang menjadi
kelaziman bagi setiap orang tua. Kekayaan yang kita peroleh bisa berasal
dari warisan orang tua atau karena berkah lingkungan yang lagi-lagi
Allah titipkan buat kita. Kita begitu faqir di hadapan Allah swt.
Seperti
itulah Allah nyatakan dalam surah Faathir ayat 15 sampai 17, "Hai
manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia
menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang
baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak
sulit bagi Allah."
3. Menyadari bahwa surga tak akan termasuki hanya dengan amal yang sedikit
Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. "Pasti, pasti saya akan masuk surga," begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.
Mungkin, pernah terangan-angan dalam benak kita bahwa sudah menjadi kemestian kalau Allah swt. akan memasukkan kita kedalam surga. Pikiran itu mengalir lantaran merasa diri telah begitu banyak beramal. Siang malam, tak henti-hentinya kita menunaikan ibadah. "Pasti, pasti saya akan masuk surga," begitulah keyakinan diri itu muncul karena melihat amal diri sudah lebih dari cukup.
Namun, ketika
perbandingan nilai dilayangkan jauh ke generasi sahabat Rasul, kita akan
melihat pemandangan lain. Bahwa, para generasi sekaliber sahabat pun
tidak pernah aman kalau mereka pasti masuk surga. Dan seperti itulah
dasar pijakan mereka ketika ada perinta-perintah baru yang diperintahkan
Rasulullah SAW.
Begitulah ketika turun perintah
hijrah. Mereka menatap segala bayang-bayang suram soal sanak keluarga
yang ditinggal, harta yang pasti akan disita, dengan satu harapan:
Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik. Dan itu adalah
pilihan yang tak boleh disia-siakan. Begitu pun ketika secara tidak
disengaja, Allah mempertemukan mereka dengan pasukan yang tiga kali
lebih banyak dalam daerah yang bernama Badar. Dan taruhan saat itu
bukan hal sepele: nyawa. Lagi-lagi, semua itu mereka tempuh demi
menyongsong investasi besar, meraih surga.
Begitulah
Allah menggambarkan mereka dalam surah Al-Baqarah ayat 214. "Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat."
4. Menyadari bahwa azab Allah teramat pedih
Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.
Apa yang bisa kita bayangkan ketika suatu ketika semua manusia berkumpul dalam tempat luas yang tak seorang pun punya hak istimewa kecuali dengan izin Allah. Jangankan hak istimewa, pakaian pun tak ada. Yang jelas dalam benak manusia saat itu cuma pada dua pilihan: surga atau neraka. Di dua tempat itulah pilihan akhir nasib seorang anak manusia.
"Pada hari ketika manusia lari dari
saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya. Setiap
orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya." (QS. 80: 34-37)
Mulailah
bayang-bayang pedihnya siksa neraka tergambar jelas. Kematian di dunia
cuma sekali. Sementara, di neraka orang tidak pernah mati. Selamanya
merasakan pedihnya siksa. Terus, dan selamanya.
Seperti
apa siksa neraka, Rasulullah SAW pernah menggambarkan sebuah contoh
siksa yang paling ringan. "Sesungguhnya seringan-ringan siksa penghuni
neraka pada hari kiamat ialah seseorang yang di bawah kedua tumitnya
diletakkan dua bara api yang dapat mendidihkan otaknya. Sedangkan ia
berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih berat siksaannya
daripada itu, padahal itu adalah siksaan yang paling ringan bagi
penghuni neraka." (HR. Bukhari dan Muslim)
Belum
saatnyakah kita menangis di hadapan Allah. Atau jangan-jangan, hati
kita sudah teramat keras untuk tersentuh dengan kekuasaan Allah yang
teramat jelas di hadapan kita. Imam Ghazali pernah memberi nasihat,
jika seorang hamba Allah tidak lagi mudah menangis karena takut dengan
kekuasaan Allah, justru menangislah karena ketidakmampuan itu.
0 komentar:
Posting Komentar