Mana
mungkin kita bisa menyelami misteri bathin diri kita, apabila kesadaran
qolbu
terganggu oleh berbagai perangkat duniawi. Padahal,
jiwa yang misteri penuh rahasia dan sulit ditangkap oleh mata bathin kita
sendiri sangat membutuhkan tawajuh, konsentrasi, dan menghadapkan
wajah qolbu secara
sungguh-sungguh. Tanpa gangguan yang masih berbau duniawi, ucapan lidah
yang
mungkin lafalnya salah, suara bahana loudspeaker, dan
kebisingan lingkungan.
Bahkan
saat ini, doa sudah memasuki bidang upacara yang bersifat dunia, karena
kesadaran budaya ruhani yang ingin menjadikan hidup duniawi itu
mempunyai
makna. Hanya saja perlu kiranya kita memahami bahwa berdoa pada
hakikatnya adalah menyatukan lahir dan bathin,
dan subjektif (keinginan seseorang tentunya berbeda satu dengan
lainnya). Dalam
hal doa yang terkait dengan orang lain, haruslah
sebuah permohonan yang universal dan mengajak semua
orang untuk terlibat dalam nuansa bathin. Janganlah karena untuk
kelancaran dan
suksesnya upacara perilaku dunia itu, maka menodai bathin
kita.
Sehingga, sering kita sulit membedakan antara doa dan pidato atau
bagaikan
sebuah retorika yang panjang
dengan nada yang keras dan
melengking. Padahal Al-Qur’an sudah
memberikan garis etika berdoa
agar bersikap
dan ber-pribatin dengan penuh rendah hati dan suara yang lembut.
Kita
memang mendengarkan ucapan ’’amin" dari para hadirin, tetapi apakah itu
merupakan tanda khusyu dan harapan yang keluar dari hati? Ataukah,
justru
hanyalah sebuah simbol pertanda "agar doanya yang seperti pidato itu,
segera selesai karena dianggap membosankan dan tidak memberikan goresan
di
hati hadirin"? Hal ini tidak berarti berdoa dalam upacara adalah salah,
tetapi
sekadar mengingatkan agar kita yang terlibat dalam prosesi upacara
tersebut
benar-benar menghayati adab dan etika berdoa. Juga memasang niat dan
komitmen
bahwa berdoa bukanlah untuk menghibur para petinggi atau penguasa.
Sekali lagi kita
garis bawahi bahwa berdoa adalah bersilap untuk menghadapkan seluruh
batinnya
kepada Ilahi, baik dalam kesendirian maupun dalam berjamaah. Tentu saja
seseorang yang sudah tinggi nilai ruhaninya, merasakan kenikmatan
makrifat
karena sudah terbiasa melakukan riyadah
dan mujahadah serta mengkonsentrasikan dirinya. Maka, apa pun yang
teijadi di
lingkungannya, tidak akan menjadi perhatian dirinya. Karena qalbunya
sudah larut
tenggelam dalam alam ruhani, mihrab Ilahi Rabbi.
Doa
yang berarti ’’memanggil, menyeru, mengharap", harus dilakukan dengan
keterbukaan yang sesungguhnya. Dengan melepaskan segala atribut duniawi
dan
menelanjangi diri sehingga benar-benar transparan, maka aku melihat
dengan
sesungguhnya tentang perilaku diriku. Dengan demikian, ada kandungan
yang
teramat khusus di dalam doa tersebut, yaitu aku memanggil diriku di
hadapan
Tuhanku. Berdoa berarti memanggil diri sendiri. Jiwa dan kesadaran kita
diseru
dan dihentakkan agar sadar bahwa saat kita berdoa sesungguhnya diri
inilah
yang berkepentingan kepada-Nya.
Ya
Allah. Inilah hamba-Mu
yang
meratap mengharap percikan cinta-Mu
Engkau
tahu
betapa telaga nista terus memburu
dosa
dan dosa dan dosa
melagukan hawa
nafsu
kelu
lidahku untuk mengaku di hadapan-Mu
malu
jiwaku untuk menatap-Mu
Ya
Allah
Dalam
gundah penuh ragu aku menghampiri-Mu Menatap diriku sendiri yang selalu
berpaling sesekali dosa-dosa kusesali tetapi berjuta kali kuulangi
Betapa
daku harus menghadap-Mu
sedang
seluruh syaraf batinku
hanyalah
kisah kepalsuan
Sungguh
tiada yang mendesakku, kecuali sebuah pengampunan-Mu
Doa itu harus diiringi dengan kesungguhan untuk mengungkap seluruh
perbuatannya
di hadapan Tuhan. Tidak ada sikap yang transparan dan terbuka, kecuali
pada
saat manusia berdoa kepada Allah.
Itulah
sebabnya, di dalam berdoa itu, manusia menunjukkan kejujurannya yang
paling hakiki dan
memakai kata atau bisikan jiwa yang sebenarnya, tidak dibuat-buat atau
mengarang doa dengan berlebih-lebihan. Karena, selama masih ada unsur
dibuat-buat atau berdoa yang masih terkait dengan dunia (ingin dipuji
orang lain), maka doa
tersebut belum mencerminkan jeritan jiwa yang sebenarnya. Dalam beberapa
hal,
doa benar-benar sangat subjektif. Suara batin yang hanya dirinya yang
paling mengerti
dan memahaminya. Dengan demikian, di dalam berdoa tersebut, "manusia
menunjukkan kemerdekaannya untuk berbicara", ya berbicara dengan bebas
untuk
mengungkapkan suara hatinya tanpa merasa terbelenggu oleh orang lain. Di
dalam
berdoa, dia tidak merasa gagap dan gamang mengungkapkan perasaannya,
karena di
dalam hatinya ada optimisme yang luar biasa terhadap Allah.
Bahkan, Rasulullah
membimbing kita semua agar di dalam berdoa tidak dibenarkan ada semacam
"reserve",
ada semacam bahasa atau ungkapan yang menyangsikan terkabulnya doa,
"Janganlah
seseorang di antara kamu
apabila berdoa, lalu mengucapkan, Ya Allah, ampunilah hamba jika Engkau
menghendaki", atau "Ya Allah, kasihanilah hamba jika Engkau
menghendaki". Hendaklah orang yang berdoa itu menetapkan permohonannya.
Sebab, tidak ada seorang pun yang melarang untuk berbuat demikian." (HR
Buldiari dan Muslim)
Dalam kesempatan lain, Rasulullah
bersabda,
"Berdoalah
kepada Allah dan kamu harus berkeyakinan, maka pasti dikabulkan.
Ketahuilah
bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai."( HR
at-Tirmidzi)
Mungkin
seseorang tidak mendapatkan kesan yang mendalam pada saat dia berdoa.
Doa hanya
sekadar ucapan lidah dan ungkapan verbal yang tidak menggedor jiwa, yang
tidak
menyebabkan keterpanggilan hati untuk menghadap. Hal ini dikarenakan
"kita tid
ak menjadikan doa sebagai ungkapan jiwa, melainkan hanya sebagai
hafalan.
Ibarat burung beo yang mengucapkan kata hanya sekadar meniru, tanpa
dapat
mengerti dan menghayati".
Dengan
demikian, betapa pentingnya kesadaran jiwa dan pemahaman yang mendalam
terhadap hakikat doa. Sehingga, doa yang
kita ucapkan menjadi satu bentuk ibadah yang paling esensial,
sebagaimana sabda Rasulullah,
"Doa itu saripatinya ibadah."(HR Bukhari dan Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar