English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Belajar Dan Berbagi Ilmu Serta Nasehat Untuk Mempererat Ukhuwah Islamiyah
free counters

Jumat, 31 Agustus 2012

AHLISUNNAH ADALAH KAUM ASY'ARIYYAH DAN MATURID MATURIDIYYAH


Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah menuliskan bahwa produk-produk hukum yang berkembang dalam disiplin ilmu fiqih yang digali dari berbagai dalil-dalil syari’at menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid dengan lainnya. Perbedaan pendapat di antara mereka tentu disebabkan banyak alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks yang tidak sharîh, maupun karena adanya perbedaan konteks.
Demikian maka perbedaan pendapat dalam produk hukum ini sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, setiap produk hukum yang berbeda-beda ini selama dihasilkan dari tangan seorang ahli ijtihad (Mujtahid Muthlak) maka semuanya dapat dijadikan sandaran dan rujukan bagi siapapun yang tidak mencapai derajat mujtahid, dan dengan demikian masalah-masalah hukum dalam agama ini menjadi sangat luas. Bagi kita, para ahli taqlîd; orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid, memiliki keluasan untuk mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid tersebut.





Dari sekian banyak imam mujtahid, yang secara formulatif dibukukan hasil-hasil ijtihadnya dan hingga kini madzhab-madzhabnya masih dianggap eksis hanya terbatas kepada Imam madzhab yang empat saja, yaitu; al-Imâm Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, al-Imâm Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, al-Imâm Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan al-Imâm Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai perintis madzhab Hanbali. 
Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang empat ini memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secara sharîh, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasulullah. Selain dalam masalah fiqih (Furû’iyyah), dalam masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini adalah Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn) yang menjadi rujukan utama dalam segala persoalan teologi.
Demikian pula dalam masalah hadits dengan segala aspeknya, mereka merupakan tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai seluk-beluknya (al-Muhadditsûn). Lalu dalam masalah tasawwuf yang titik konsentrasinya adalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh al-A’mâl al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah an-Nafs), para ulama mujtahid yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya (ash-Shûfiyyah). Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini dalam berbagai disiplin ilmu agama telah benar-benar ditulis dengan tinta emas dalam berbagai karya tentang biografi mereka.





Pada periode Imam madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan masalah-masalah fiqih sangat urgen dibanding lainnya. Karena itu konsentrasi keilmuan yang menjadi fokus perhatian pada saat itu adalah disiplin ilmu fiqih. Namun demikian bukan berarti kebutuhan terhadap Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi kajian pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum terlalu banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan dari para ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat terbatas.
Dengan demikian kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci terhadap segala permasalahan akidah Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti al-Imâm Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah, juga al-Imâm asy-Syafi’i yang telah menulis beberapa karya teologi. Benar, perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat itu belum sesemarak pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.





Seiring dengan semakin menyebarnya berbagai penyimpangan dalam masalah-masalah akidah, terutama setelah lewat paruh kedua tahun ke tiga hijriyah, yaitu pada sekitar tahun 260 hijriyah, yang hal ini ditandai dengan menjamurnya firqah-firqah dalam Islam, maka kebutuhan terhadap pembahasan akidah Ahlussunnah secara rinci menjadi sangat urgen. Pada periode ini para ulama dari kalangan empat madzhab mulai banyak membukukan penjelasan-penjelasan akidah Ahlussunnah secara rinci hingga kemudian datang dua Imam agung; al-Imâm Abu al-Hasan al-As’yari (w 324 H) dan al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H).
Kegigihan dua Imam agung ini dalam membela akidah Ahlussunnah, terutama dalam membantah faham rancu kaum Mu’tazilah yang saat itu cukup mendapat tempat, menjadikan keduanya sebagai Imam terkemuka bagi kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kedua Imam agung ini tidak datang dengan membawa faham atau ajaran yang baru, keduanya hanya melakukan penjelasan-penjelasan secara rinci terhadap keyakinan yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya ditambah dengan argumen-argumen rasional dalam mambantah faham-faham di luar ajaran Rasulullah itu sendiri. Yang pertama, yaitu al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, menapakan jalan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm asy-Syafi’i. Sementara yang kedua, al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi menapakan madzhabnya di atas madzhab al-Imâm Abu Hanifah. Di kemudian hari kedua madzhab Imam agung ini dan para pengikutnya dikenal sebagai al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah.





Penamaan Ahl as-Sunnah adalah untuk memberikan pemahaman bahwa kaum ini adalah kaum yang memegang teguh ajaran-ajaran Rasulullah, dan penamaan al-Jamâ’ah untuk menunjukan para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti mereka di mana kaum ini sebagai kelompok terbesar dari umat Rasulullah. Dengan penamaan ini maka menjadai terbedakan antara faham yang benar-benar sesuai ajaran Rasulullah dengan faham-faham firqah sesat seperti Mu’tazilah (Qadariyyah), Jahmiyyah, dan lainnya. Akidah Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah sebagai akidah Ahlussunnah dalam hal ini adalah keyakinan mayoritas umat Islam dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk dalam golongan Ahlussunnah ini adalah para ulama dari kalangan ahli hadits (al-Muhadditsûn), ulama kalangan ahli fiqih (al-Fuqahâ), dan para ulama dari kalangan ahli tasawuf (ash-Shûfiyyah).





Penyebutan Ahlusunnah dalam dua kelompok ini (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah) bukan berarti bahwa mereka berbeda satu dengan lainnya, tapi keduanya tetap berada di dalam satu golongan yang sama. Karena jalan yang telah ditempuh oleh al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Imâm Abu Mansur al-Maturidi di dalam pokok-pokok akidah adalah jalan yang sama. Perbedaan yang terjadi di antara Asy’ariyyah dan Maturidiyyah adalah hanya dalam masalah-masalah cabang akidah saja (Furû’ al-‘Aqîdah), yang hal tersebut tidak menjadikan kedua kelompok ini saling menghujat atau saling menyesatkan satu atas lainnya. Contoh perbedaan tersebut, prihal apakah Rasulullah melihat Allah saat peristiwa Mi’raj atau tidak? Sebagian sahabat, seperti Aisyah, Abdullah ibn Mas’ud mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah tidak melihat Allah. 
Sedangkan sahabat lainnya, seperti Abdullah ibn Abbas mengatakan bahwa ketika itu Rasulullah melihat Allah dengan mata hatinya. Dalam pendapat Abdullah ibn Abbas; Allah telah memberikan kemampuan kepada hati Rasulullah untuk dapat melihat-Nya. Perbedaan Furû’ al-‘Aqîdah semacam inilah yang terjadi antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah, sebagaimana perbedaan tersebut telah terjadi di kalangan sahabat Rasulullah. Kesimpulannya, kedua kelompok ini masih tetap berada dalam satu ikatan al-Jamâ’ah, dan kedua kelompok ini adalah kelompok mayoritas umat Rasulullah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang disebut dengan al-Firqah an-Nâjiyah, artinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat.

Minggu, 26 Agustus 2012

MENURUT PEMAHAMAN WAHABI – IBNU SINA ADALAH ORANG BODOH, KAFIR, ATHEIS, PENGIKUT ALIRAN SYI’AH SEKTE QARAMITHAH BATHINIYYAH, PENGIKUT AGAMA ARISTOTELES, DLL


Lagi-lagi postingan kali ini saya copaskan LANGSUNG DARI BLOG OKNUM WAHABI. Di copas dari postingan mereka yang berjudul “Benarkah Ibnu Sina Adalah Ilmuwan Muslim?” .

Bagi yang ingin membaca langsung secara lengkap silahkan klick link sumber yang sudah saya cantumkan di bagian bawah.

BAGI YANG INGIN MEMBACA MELALUI POSTINGAN INI, di bawah ini SAYA COPASKAN LANGSUNG DARI BLOG OKNUM WAHABI TERSEBUT,
Selamat membaca...!!! :

#####################———-####################

JUDUL: Benarkah Ibnu Sina Adalah Ilmuwan Muslim?

Dalam Majallah Al-Muslimun nomor 247 dimuat resensi buku yaitu “Ibnu Sina sosok Ilmuwan Muslim”. Penulis resensi buku itu tidak mengerti siapa sebenarnya Ibnu Sina?

Kalau kita ingin menulis makalah tentang syakhshiyyah (pribadi seseorang) lebih dahulu kita harus merujuk kitab-kitab yang dikarang oleh Ulama-ulama Islam yang terdahulu yang masyhur, apa kata mereka tentang pribadi seseorang, baru kita pakai sebagai penguat itu ialah ucapan pam ulama yang belakangan. Kita lebih percaya kepada para Salafush-shalih dan orang yang mengikuti jejak mereka ketimbang ulama yang belakangan yang telah banyak menyimpang dari Manhaj mereka.

Para penulis yang memuji Ibnu Sina kebanyakan dari ahli filsafat dan Orientalist serta para ahli kedokteran, oleh karena itu semua buku yang mcnulis tentang Ibnu Sina selalu mereka merujuk kepada buku-buku Orientalist dan ahli filsafat. Mereka memuji Ibnu Sina karena kekaguman mereka terhadap karya-karyanya, di antara bukunya yang terkenal ialah “al-Qa-nuun fit-Thibb”(Canon of Medicine / Konstitusi ilmu kedokteran).

Kita harus ingat, bahwa pujian yang mereka lontarkan tentunya mempunyai tujuan untuk merusak Islam, karena Ibnu Sina seorang ahli filsafat di samping ia ahli kedokteran dan buku-bukunya tentang filsafat sudah beredar di mana-mana. Dengan pujian dan menganggap ia sebagai seorang “Muslim” membuat kaum Muslimin berusaha membaca karya-karanya tentang filsafat yang isinya adalah racun bagi ummat Islam, sesat dan menyesatkan.


IBNU SINA BIOGRAFI DAN AQIDAHNYA

Ibnu Sina (Avicenna) lahir pada bulan Shafar lahun 370 Hijriyyah / 980 M wafat tahun 1037 M, sejak masa remaja ia sudah kagum dcngan ilmu filsafat, ia banyak mengambil ilmu filsafat dari Ariestoteles. Filsafat ini dikembangkan oleh Ibnu Sina. Filsafat yang dianut olch Ariestoteles dan Ibnu Sina menurut ahli filsafat merupakan filsafat yang sangat-sangat aneh, karena keduanya berpendapat bahwa alam ini ada sebelum adanya (Allah), sedangkan para filosof sebelumnya berkata Bahwa alam ini baru (diciptakan), dan penciptanya ada. (Ighatsatul-Lahafan hal: 257).

Ariestoteles dan lbnu Sina berpendapat bahwa Allah Subhana wa Ta’ala tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dan tidak mengetahui sesuatu dan keduanya tidak beriman kepada Malaikat.

Malaikat menurut mereka adalah khayalan para Nabi yang berupa cahaya.
Malaikat tidak bergerak, tidak naik, tidak turun, tidak berbicara, tidak menulis amal-amal hamba, tidak berpindah-pindah, tidak shalat, tidak rnencabut nyawa, tidak menulis rezeki, ajal dan amal, tidak ada di kanan dan di kiri manusia dll.
Scmua ini menurut Ibnu Sina tidak ada hakikatnya.
(Lihat: lghatsatul-Lahafan II : 261)

Mereka tidak percaya kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah Subhana wa Ta’ala melalui Malaikat, karena dia tidak bisa berkata apa-apa dan tidak akan berkata dan Malaikat tidak boleh berkata-kata. (ibid : 262).


KEYAKINAN IBNU SINA YANG SESAT TENTANG NABI DAN RASUL

Rasul-Rasul dan Nabi-nabi menurut Ibnu Sina adalah bualan semata dan bukan utusan dari Allah Subhana wa Ta’ala. Para Nabi dan Rasul mempunyai 3 karakteristik, jika hal ini ada maka ia (menurut dia Ibnu Sina.ed) Nabi :

1. Kekuatan menduga (mengetahui perkara berdasarkan pcrkiraan) hingga ia tahu dengan cepat batas pertengahan dari Sesuatu.

2. Kekuatan mengkhayal, seperti para Nabi mengkhayalkan bentuk cahaya serta cahaya itu dapat bercakap dengan dia dan ia dapat mendengar (cahaya yang dimaksud ialah Malaikat).

3. Kekuatan untuk mempengaruhi orang, dan ini dilakukan semata-mata dengan jiwa.
Semua ini bisa dilakukan dengan usaha.
Ibnu Sina berkata : “Filsafat itu merupakan kenabian khusus, adapun kenabian adalah merupakan filsafat umum.”
(Lihat : Kitab lghatsatul Lahafan min Mashayidis Syaithan II hal: 262 oleh Al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq Muhammad Hamid al-Faqiy cet. Darul Ma’rifah-Beirut ; dan Kitab al’Aqa-’id al-Bathiniyyah wa hukmul Islam fiiha hal : 247-248 oleh Dr. Shabir Tha’iimah cet. Maktabah ats-Tsaqafiyyah-Beirut).


PANDANGAN IBNU SINA TENTANG HARI KIAMAT

lbnu Sina dalam bukunya “ar-Risalah al-Adhhawiyyah fi Amril Ma’ad” (cet. Darul Fikr al-’Arabiy-Kairo th. 1368 H / 1949 M) ia berkeyakinan tidak beriman kepada pecahnya langit, berhamburannya bintang-bintang, bangkitnya manusia dengan jasadnya, dan tidak percaya bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengadakan alam ini dari tidak ada menjadi ada. Ia berkeyakinan alam ini Azaliy (lihat Dar’u Ta’arudhui ‘Aql wan Naql V:10 oleh Sayikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim cet. I th.1401 H / 1981 M; Ighatsatul Lahafan II hal. 262).


IBNU SINA ADALAH PENGIKUT ALIRAN SYI’AH SEKTE QARAMITHAH BATHINIYYAII

Ibnu Sina pernah memberitahukan tentang dirinya :
Aku dan Ayahku inengikuti ajaran al-Hakim (1) (Ighatsatul-Lahafan 11 : 266) Dengan begitu jelaslah bahwa Ibnu Sina termasuk Sekte Qaramithah Bathiniyyah (2) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Dr. Rasyad Salim, Muhammad ilamid al-Faqiy dan Dr. Shabir Tha’iimah.

(1). Al-Hakim adalah Manshur bin al’Aziz Billa Nizar bin al-Mu’iz-Billa al-’Abidiy Sulthan ke III, Kesultanan Syi’ah Fathimiyyah (Dibunuh oleh Sulthan Mahmud Al-Ghazi As-Saljuqi At-Turkey Rahimahullah dari Daulah As-Salajiqah pada Tahun 386 H / 996 M), khalifah Pendusta dan Jahat yang pernah menguasai seluruh wilayah Afrika Utara. Ia mendakwakan dirinya sebagai Tuhan, ia banyak membunuh para ulama (tidak dapat dihitung bilangan ulama yang terbunuh, karena hanyaknya). Ia menulis di Masjid-masjid Jami’ caci makian terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Aisyah dan para shahabat lainnya. Dia-lah sekarang yang dijadikan sesembahan oleb kelompok Druzz di Libanon dan Isma’iliyyah di India. (Ta’liq Ighatsatul-Lahafan oleh Syekh Muhammad Hamid al-Faqiy II hal : 266).

(2). Dinisbatkan kepada Hamdan bin al-Ash’ats, dikenal dengan Qurmuth karena ia orangnya pendek / jadi, pendek langkahnya (qurmuth). Ia seorang pembajak tanah di Kufah. Ia termasuk kelompok Kebathinan, mereka mengaku bahwa mereka orang Syi’ah, mereka adalah Atheis dan Zindiq (orang yang pura-pura Islam). Tahun 286 H mereka mulai mcnampakkan da’wahnya (kcpada kesesatan) melalui Sa’id al-Hasan bin Bahram al-Janabiy setelah ia mengikuti Qaramithah.

Kemudian da’wah Qaramithah berkembang dan banyaklah orang-orang jahat yang mengikutinya. Mereka pernah memasuki kota Makkah pada hari Tarwiyah tgl 8 Dzulhijjah th 317 H.

Mereka membunuh jama’ah hajji yang sedang Thawaf (mengelilingi Ka’bah) mereka mencabut pintu Ka’bah dan Kiswahnya, dan orang-orang yang dibunuh dimasukkan ke Sumur Zamzam.

Mereka mencopot Hajar Aswad dan mereka bawa ke Qothief dan tinggal di sana kurang- lebih selama 22 tahun.

Setelah Dunia Islam panik dengan kejahatan Qaramithah, barulah Khalifah Abbasiyyah al-Muthi’ Billah al-Fadhl Bin al-Muqtadir Rahimahullah mengembalikan Hajar Aswad ketempatnya.
Sebenarnya sebelum itu juga mereka telah membunuh orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah hajji dan menawan wanita-wanitanya.
(Lihat : Ta’liq Ighatsatul-Lahafan oleb Syekh Muhammad Hamid al-Faqiy II hal: 248 dan al-’Aqa-id al-Bathiniyyah oleh Dr. Shabir Tha’imah hal : 221 s/d 236)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah betkata : “Semua kelompok Qaramithah LEBIH KUFUR dari Yahudi dan Nasrani bahkan lebih kufur dari kebanyakan kaum Musyrikin, karena mereka lebih berbahaya dari kafir harbiy, mereka berpura-pura mencintai Ahul Bait padahal pada hakikatnya mereka tidak beriman kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, tidak beriman kepada perintah, larangan, ganjaran dan siksa. Dan mereka tidak beriman kepada Surga dan Neraka dan tidak juga beriman kepada seorangpun dari para Rasul sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. mereka mengambil dalil al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dari Ulama kaum Muslimin tetapi mereka ta’wilkan dan mereka mengada-adakan dusta serta menda’wakan bahwa yang demikian itu adalah ilmu Bathin.”
(Lihat: Fatawa Syaikhul Islam Jiid 35 halaman : 149-150)


BEBERAPA BANTAHAN PARA ULAMA TENTANG BUKU-BUKU IBNU SINA

1. Syaikh Muhammad asy-Syahrastani rahimahullah (lahir th 479 H wafat th 548 H), ia mengarang satu buku yang berjudul “al-Mushara’ah” [Buku yang ditulis oleh Imam Syahrastani adalah penyempurnaan dari buku Imarn Shadaruddin Asy-Syairazy rahimahullah, yang sebenarnya buku ini dibantah lagi oleh Ibnu Sina di saat Syairazy rnasih hidup, dua buku ini sudah dibaca oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. (Lihat: Al-Milal wan Nihal dan al-Ighatsah)].

Isi buku itu membantah keyakinan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa alam ini terdahulu, keyakinan dia tentang tidak adanya Hari Kiamat (dibangkitkan dengan jasad) serta ia berkeyakinan Allah tidak mempunyai ilmu dan kekuasaan. Beliau (Imam Muhammad asy-Syahrastani rahimahullah) menjelaskan bahwa keyakinan Ibnu Sina itu BATHIL. Tetapi Ibnu Sina tidak mau rujuk kepada kebenaran, bahkan ia menentang dan membantah buku Imam asy-Syairazy rahimahullah itu dengan mengarang satu buku yang berjudul “Mushara’atul Mushara’ah”, Di kitab itu Ibnu Sina menyatakan :
“Bahwasanya Allah tidak menciptakan langit dan Bumi dalam 6 (enam) hari, Allah tidak mengetahui sesuatu apapun, Allah tidak berbuat sesuatu dengan Qudrat dan Ikhtiyarnya dan Allah tidak membangkitkan manusia dari Kuburnya.”
(Lihat : Ighatsatul lahafan II hal. 266)

Setelah membawakan pendapat Imam asy-Syahrastani rahimahullah yang menyatakan ajaran Ibnu Sina itu Bathil, Imam lbnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Kesimpulannya Ibnu Sina itu Seorang ATHEIS, Yang KUFUR KEPADA ALLAH, kepada para MalaikatNya, Kufur kepada Kitab-kitab Nya, Kufur kepada Rasul-Rasul Nya dan Kufur kepada hari Kiamat.”(Ighatsatul.Lahfan 11 : 267)

Selanjutnya beliau rahimahullah berkata: “(Menurut ukuran kejelekan), Agama kaum Musyrikin lebih baik dari ajaran Ibnu Sina, al-Farabi dan para pengikutnya (maksudnya kejelekan kaum Musyrikin lebih ringan dibanding kejelekan Ibnu Sina-pen) karena penyembah-penyembah berhala masih mempercayai Allah sebagai al-Khaliq (pencipta) yang mengadakan dari tidak ada, mereka percaya bahwa Allah BERKUASA DAN HIDUP, Penyembah berhala hanya berlaku syirik dalam soal ibadah.

Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” ( Qs. Az-Zumar : 3 ).
(sedang Ibnu Sina dalam semua hal)(idem 268).

2. Imam Ibnul Qusyairiy rahimahullah mernbantah bukunya Ibnu Sina yang berjudul: Asy-Syifa 3). Asy-Syifa itu sebuah buku Ensikilopedia Filsafat, bantahan beliau rahimahullah dituliskan dalam bentuk Sya’ir :
Kami putuskan persaudaraan dengan sekelompok orang yang sakit yaitu penulis buku asy-Syifa’.

Berapa kali kami sudah kuingatkan : Wahai kaumku! Kalian ini berada di tepi jurang (neraka) bersama penulis buku asy-Syifa’.
Maka tatkala mereka sudah meremehkan peringatan kami, maka kami kembali kepada Allah, Allah cukup (sebagai pelindung kami),
Mereka (Ibnu Sina dan para pengikutnya) mati dalam keadaan mengikuti Agama (‘ajaran,) Ariestoteles, sedangkan kami hidup mengikuti agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . (Lihat: Fatawa Ibnu Taimiyyah 9 hal. 253)

3. Ibnul Jauzi al-Qurasyiy al-Baghdadiy rahimahullah berkata : “Kebanyakan AhIi Filsafat berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui sesuatu?? Ibnu Sina berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengctahui yang partial?? Mereka adalah orang-orang yang PANDIR YANG TELAH DIHIASI OLEH IBLIS.”
(Talbiisu Iblis oleh Ibnu Jauzi hal : 47, Tahqiq Mahmud Mahdi al-Istambuli cet. Muassasah ‘ulumul Qur’an-Damaskus).

4. Ibnu Sina menulis buku yang berjudul “al-Isyaaraat wat Tanbiihaat, buku ini ada beberapa jilid yang berisi tentang kayakinan di dalam masalah Dzat, Wujud dan sebagainya. Buku ini telah disyarah oleh seorang filosop Israel. Dan buku Ibnu Sina ini telah dibantah oleh Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya Dar’u Ta’a-rudhul’Aql wan Naql jilid V dan halaman 87 sampai dengan halaman 152 tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim cet. th 1401 H/1981.M. Di halaman 130-131 Ibnu Taimiyyah berkata : “Mereka-mereka yang mengingkari adanya Malaikat adalah Kafir …. dan Ulama’ salaf telah sepakat bahwa mereka yang mengingkari sifat-sifat Allah adalah orang yang paling bodoh dan paling sesat.”

5. Berkata Dr.Shabir Tha’iimah rahimahullah: “Aqidah kebathinan yang dianut oleh sekte Qaramithah, Isma’iliyah dan Nushairiyah adalah KAFIR karena mereka menolak Rukun Iman dan hukum-hukum Islam, dan mereka telah dipengaruhi oleh Filsafat Yunani, Persia dan India. Mereka mengaku-ngaku dirinya sebagai orang-orang Muslim? Padahal mereka sangat jauh dari Islam dan kaum Muslimin. Di antara tokoh-tokohnya ialah : Ibnu Mulkan, Ibnu Sab’in, IBNU ‘ARABY, AL-HALLAJ, IBNU SINA DAN dan yang selain mereka.” (Lihat al-’Aqaaid al-Bathiniyyah wa hukmul Islam fiiha halaman 242 s/d 249).


IBNU SINA DAN PARA PENGIKUTNYA MENURUT AL-QUR’AN

Ibnu Sina dan para pengikutnya menurut al-Qur’an adalah orang-orang bodoh, sombong, sesat dan Kafir. Allah Subhana wa Ta’ala Berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( Qs.Al-Mukmin : 56 ).

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.” Mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.” ( Qs.Al-Baqarah : 13 ).

“Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu.” ( Qs. Al-Mu’min : 83 ).

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” ( Qs.An Nisaa’ : 136 ).

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” ( Qs. An Nisaa’ : 150-151 ).

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan.” ( Qs. Al A’raaf : 147 ).

Sesungguhnya seeeorang bisa dikatakan beriman apabila ia beriman kepada Allah, Malaikat- Malaikat-Nya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan apa yang ditakdirkan Allah kepada dirinya yang baik maupun yang buruk. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
,”Iman itu ialah : Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” ( Shahih Riwayat Imam Muslim no. 8 ).

Maka perhatikanlah bahwa Ibnu Sina tidak beriman kepada apa yang discbutkan dalam al-Qur’an dan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia malah mengikuti dan membela ajaran Ariestoteles, Syi’ah Qaramithah Bathiniyyah dan dia mati dalam keadaan meyakini ajaran yang sesat tersebut.
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman :
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” ( Qs.Al-‘Imran : 85 ).

Mungkin Ada orang yang berkata : “tidak boleh mengkafirkan seseorang dari ahli qiblat dengan sebab satu dosa “kami jawab: Tetapi Ibnu Sina telah berbuat dosa-dosa besar dan telah MURTAD dari Islam dan dia telah KUFUR I’TIQADIY, dan orang yang membela Ibnu Sina berarti ia telah menjadi pengikutnya, dan bisa disamakan hukumnya dengan dia (Lihat al-Wala’ wal Bara’fil Islam bab Nawaqidhul Islam hal : 75 oleh Muhammad bin Sa’id bin Salim al-Qahthani MA cet. Daar Thayyibah dan al Imam Akamuhu haqiqatuhu Nawaqidhuhu hal. 219 dan 241 olch Dr. Muhammad Na’im Yasin, cet. V Mahtu-batul falaah 1407/1987).


KESIMPULANNYA

Apabila kita mau menilai sescorang maka kita wajib menilai dengan neraca yang adil yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Tidak boleh kita menilai seseorang itu baik berdasarkan jasa-jasanya atau kehebatan maupun keahliannya, karena banyak sekali orang-orang kafir yang telah berjasa untuk kepentingan kaum Muslimin dan mereka tetap dikatakan kafir. Pertama kali kita nilai seseorang adalah tentang aqidahnya, benar atau salah, musyrik, kafir atau mu’min dan sesudah itu baru yang lainnya. Ibnu Sina menurut ukuran nilai Islam dia TELAH KAFIR, jadi Ibnu Sina bukanlah cendekiawan Muslim, tetapi CENDEKIAWAN KAFIR.

Ingat kita harus hati-hati terhadap pengaruh Filsafat Ibnu Sina yang dikembangkan oleh para Orientalis dan bertujuan untuk menyesatkan kaum Muslimin. Bila aqidah sudah hancur amal-pun pasti akan gugur.!

Oleh : Al-Ustadz Yazid Ibn Abdul Qodir Jawaz


SUMBER BLOG WAHABI:


http://dediwahyudisalafi.blogspot.com/2012/07/benarkah-ibnu-sina-adalah-ilmuwan-muslim.html
http://bukancumadokter.wordpress.com/2011/03/05/benarkah-ibnu-sina-adalah-ilmuwan-muslim/

AJARAN ISLAM YANG BENAR


Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran dari agama Islam itu terdiri dari tiga macam, yaitu :



1. Ajaran tentang Islam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki nafsu (homo animale).


2. Ajaran tentang Imam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki akal fikiran (homo rationale).


3. Ajaran tentang Ihsan, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki budi pekerti, atau hati nurani, atau sarirah, atau 'ainul bashirah (homo somatica)





Ketiga ajaran agama Islam tersebut, yaitu: Imam, Islam dan Ihsan, disebut sebagai Risalah Islamiyah atau Fithrah Munazzalah. Sedang ketiga unsur jiwa manusia tersebut, yaitu: nafsu, akal fikiran dan hati nurani, disebut sebagai Fithrah Mukhallaqah.


Faham atau aliran Aswaja, dalam bidang


1. Keimanan, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari, atau Imam Abu Mansur Al Maturidi.


2. Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali.


3. Akhlaq/tasawwuf, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghozali serta orang-orang yang sefaham dengan kedua beliau.


Tujuan utama dari Risalah Islamiyah itu adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh ketiga ajaran agama Islam. Untuk itu setiap muslim dituntut untuk melakukan peningkatan dalam ketiga bidang ajaran agama Islam tersebut, baik dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitas.


Peningkatan imam dari segi kwantitas, ialah dengan jalan mengamalkan cabang-cabang iman sebanyak 77 cabang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh para ahli hadits sebagai berikut:


اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَاَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ . رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ .


Iman itu tujuh puluh tujuh cabangnya. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan kalimah "Laa ilaaha illallaah" dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Dan malu berbuat maksiat adalah salah satu cabang dari iman. (H.R. para ahli hadits)


Ketujuh puluh tujuh cabang iman tersebut dituturkan oleh Syeikh Zainuddin bin Ali dalam kitab Syu'abul Iman sebagai berikut:


1. Beriman kepada Allah.


2. Beriman kepada para malaikat.


3. Beriman kepada kitab-kitab Allah.


4. Beriman kepada para nabi.


5. Beriman kepada hari kiamat.


6. Beriman kepada kepada kebangkitan orang yang sudah mati.


7. Beriman kepada qadar.


8. Beriman bahwa para makhluk semuanya sesudah dibangkitkan dari kubur, akan digiring ke padang mahsyar, yaitu tempat pemberhentian mereka di hari kiamat.


9. Beriman bahwa sesungguhnya surga itu adalah tempat tinggal yang kekal bagi orang muslim.


10. Mencintai Allah ta'ala.


11. Takut kepada siksa Allah.


12. Mengharap rahmat Allah ta'ala.


13. Tawakkal.


14. Mencintai Nabi Muhammad saw.


15. Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw.


16. Bakhil dengan agama Islam.


17. Mencari ilmu;


18. Menyebarkan ilmu agama Islam.


19. Mengagungkan dan menghormati Al Qur'an.


20. Bersuci.


21. Menunaikan shalat lima waktu dengan sempurna.


22. Memberikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan niat yang khusus.


23. Berpuasa pada bulan Ramadlan.


24. I'tikaf.


25. Menunaikan ibadah haji.


26. Berjuang membela agama.


27. Mempertahankan garis demarkasi.


28 Tetap dalam memerangi musuh dan tidak lari dari medan pertempuran.


29. Memberikan seperlima dari harta rampasan perang.


30 Memerdekakan budak yang mu'min.


31. Membayar kafarat.


32. Memenuhi janji.


33. Bersyukur.


34. Menjaga lidah dari omongan yang tidak pantas.


35. Menjaga kemaluan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.


36. Menunaikan amanat kepada yang berhak.


37. Meninggalkan membunuh orang muslim.


38. Menjaga diri dari makanan dan minuman yang diharamkan.


39. Menjaga diri dari harta yang haram.


40. Menjaga diri dari pakaian, perhiasan dan tempat (bejana) yang diharamkan.


41. Menjaga diri dari permaianan-permainan yang dilarang.


42. Sederhana dalam membelanjakan harta.


43. Meninggalkan dendam dan hasud.


44. Melarang mencela orang-orang muslim, baik di hadapan mereka atau tidak.


45. Ikhlas dalam beramal karena Allah ta'ala.


46. Senang sebab ta'at, susah sebab kehilangan ta'at dan menyesal sebab maksiat.


47. Bertaubat.


48. Menyembelih kurban, aqiqah dan hadiah.


49. Ta'at kepada ulil amri, mengenai perintah mereka yang berjalan menurut kaidah-kaidah syara', demikian pula ta'at kepada larangan mereka yang sesuai dengan kaidah-kaidah syara'.


50. Berpegang teguh pada apa yang telah disepakati jama'ah.


51. Menghukumi manusia dengan adil.


52. Menyuruh perkara yang telah diketahui kebaikannya dan melarang parkara yang mungkar.


53. Saling membantu dalam kebajikan dan ketaqwaan.


54. Malu kepada Allah.


55. Berbuat baik kepada kedua orang tua.


56. Silatur rahim.


57. Berbudi pekerti yang baik.


58. Berbuat baik kepada budak belian.


59. Ketaatan budak kepada majikannya.


60. Menjaga hak isteri dan anak-anak.


61. Menyintai ahli agama.


62. Menjawab salam dari orang-orang muslim.


63. Mengunjungi orang yang sakit.


64. Menyalati mmayit yang muslim.


65. Membacakan "tasymit" kepada orang yang bersin yang membaca "hamdalah".


66. Menjauhi setiap orang yang berbuat kerusakan.


67. Memuliakan tetangga.


68. Memuliakan tamu.


69. Menutupi cacat orang-orang muslim.


70. Sabar dalam menjalankan keta'atan sehingga dapat melaksanakannya.


71. Zuhud.


72. Cemburu dan tidak membiarkan isterinya bercumbu rayu dengan laki-laki lain.


73. Berpaling dari omongan yang tidak berguna.


74. Dermawan.


75. Menghormati orang tua dan menyayangi anak muda.


76. Mendamaikan pertikaian yang ada di antara orang-orang muslim.


77. Mencintai untuk orang lain apa saja yang dicintai untuk dirinya sendiri.




Sedang meningkatkan kwalitas iman, adalah berusaha meningkatkan iman dari 'ilmul yaqin, menjadi 'ainul yaqin dan terakhir menjadi haqqul yaqin.









Meningkatkan amal Islam dari segi kwantitas harus dilakukan dengan jalan mem-perbanyak jumlah amal ibadah yang dikerjakan dan berusaha untuk menjalankannya dengan istiqamah. Sedang meningkatkan amal Islam dari segi kwalitas harus dilakukan dengan jalan melakukan amal ibadah karena takut kepada siksa Allah, menjadi karena mengharapkan sorga Allah, dan terakhir karena semata-mata ingin mendekat-kan diri kepada Allah.





Meningkatkan amal Ihsan dari segi kwantitas, harus dilakukana dengan jalan mem-bersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tersela yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10, kemudian menghiasi hatinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10.

Sepuluh induk akhlak tercela :


1. Tamak terhadap makanan


2. Tamak kepada omongan


3. Suka marah


4. Hasud


5. Bakhil dan senang harta


6. Ambisi dan gila hormat


7. Senang dunia


8. Ujub atau membanggakan diri


9. Takabur


10. Riya' atau mencari simpati dari selain Allah dengan amal ibadah





Sepuluh induk akhlak terpuji :


1. Bertaubat


2. Khauf dan raja'


3. Zuhud


4. Sabar


5. Syukur


6. Ikhlas dan jujur


7. Tawakkal


8. Cinta kepada Allah


9. Rela kepada ketentuan Allah


10. Selalu mengingat mati dan hakekatnya


Sedang meningkatkan amal Ihsan dari segi kualitas adalah berusaha meningkatkan diri dari tingkat orang awam menjadi orang shalih. Dari tingkat orang shalih menjadi orang yang bertaqwa. Dari orang yang bertaqwa menjadi orang yang mencintai Allah. Dari orang yang mencintai Allah menjadi ahli ma'rifat.

Sabtu, 25 Agustus 2012

SIAPAKAH YANG DAPAT MENJAMIN MEREKA TIDAK KELIRU...???

 
Siapakah yang dapat menjamin upaya ijtihad (pemahaman) yang dilakukan oleh ulama-ulama wahabi yang populer seperti utsaimin,bin baz bahkan ulama Al bani tidak keliru ?

Terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak

Jika ingin menggali sendiri hukum-hukum dari Al Qur’an dan Hadits harus mempunyai kompetensi antara lain :

a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.

c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.

d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.

e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.

Jika belum berkompetensi menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits maka ikutilah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

Dari firman-Nya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh.

Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya langsung dan Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh.

Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Jadi cara kaum muslim mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.

Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat atau memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.

Bahkan kalau melalui para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada umumnya memiliki ketersambungan dengan lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur yakni :

1. Melalui nasab (silsilah / keturunan).
Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru.
Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat.

Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.

Dalam perkara agama tidak ada hal yang baru. Justru harus berlaku jumud atau istiqomah sebagaimana apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.

Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.

Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim.

Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu serta berakhlak baik

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“.

Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi adalah ijazah. Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan. Memberikan ijazah sangat penting. Menimbang agar tak terjadinya penipuan dan dusta dalam penyandaran seseorang. Apalagi untuk zaman sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis menjadi suatu keharusan.

Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya‘. Dan beliau juga bersabda: “Ambillah bacaan Al Qur’an dari empat orang. Yaitu dari ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian Salim, maula Abu Hudzaifah, lalu Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).tapi sayang.......menurut adik kelas katanya sanad gak penting,ilmu lughot gak penting.....!!!!

BAGAIMANA CARA MENGIKUTI PEMAHAMAN SALAFUS SHOLEH


Oleh : Abdie El


Sungguh bagus dan mulia motto sebagian saudara muslim kita, yakni : “Belajar Islam Sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Menurut Pemahaman Para Sahabat“....
hhemm…benarkah demikian????..^_^…


Inilah pokok kesalahpahaman selama ini yang menjadikan sebagian umat muslim gemar mentakfirkan sesama saudara muslim, terpecah belah, saling berlepas diri, saling berdebat bahkan saling bertengkar seperti kejadian di NTB Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka




Pertanyaan sekarang adalah bagaimana cara mengikuti pemahaman dan cara beragama mereka ??
Ada tiga metode “cara mengikuti” atau penyampaian dari Salafush Sholeh yakni :


1. Penyaksian langsung atau bergaul, hidup sezaman dengan para Salafush Sholeh


2. Penyampaian dari mulut ke mulut / lisan / temu muka atau dikenal dengan sanad ilmu/ pengijazahan atau bisa pula sanad silsilah (keturunan).


3. Mengikuti yang paling lemah adalah melalui tulisan / literatur karena tidak ada proses konfirmasi apa yang dipahami.


Imam Mazhab yang empat termasuk yang menggunakan metode 1 karena mereka bertemu dengan Salafush Sholeh :
 (1) Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu:


Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.

Guru-gurunya yang lain para Tabi’in. Abu Hanifah menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.


Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama fungsinya.


Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in banyak tinggal di madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi, Sunnah Rasul.

(2)Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya.

Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya, diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai untuk dasar hukum.


(3)Imam Syafi’i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.


Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pndah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.


Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki.


Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).


Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui bliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.

(4)Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’I, ketika beliau berada di Bagdad.


Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “ayahku telah menghafal diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta).


Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dari yang 10.000.000 itu.


Jadi Imam Mazhab yang empat menggunakan metode yang paling shahih dalam mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, tabi’in, tabi’ut tabi’in….”Lalu bagaimana metode yang dipergunakan oleh para syaikh/ulama/ustadz yang mengaku menisbatkan kepada Salafush Sholeh ?”


Pada umumnya dengan metode 3 yakni melalui tulisan , mereka memahami melalui tulisan tanpa dapat konfirmasi sehingga…maaf..^-^,… bercampur dengan pemahaman mereka sendiri.


Menurut Al-bani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-bani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.


Tentu saja pendapat seperti ini adalah pendapat yang keliru besar. Ilmu fiqih dan mazhab pada ulama yang ada itu bukan didirikan untuk menyelewengkan umat Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah. Justru ilmu fiqih itu sangat diperlukan sebagai metodologi yang istimewa dalam memahami Quran dan Sunnah.


Menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, kedudukan ilmu fiqih kira-kira sama dengan kedudukan ilmu hadits. Keduanya tidak pernah diajarkan secara baku oleh Rasulullah SAW. Ilmu hadits atau juga dikenal dengan ilmu naqd (kritik) hadits, juga merupakan produk manusia, hasil ijtihad, bukan ilmu yang turun dari langit.


Tapi dengan ilmu hadits, kita jadi tahu mana hadits yang shahih, mana hadits yang dhaif dan mana hadits yang maudhu’. Padahal yang menyusun ilmu hadits itu bukan Rasulullah SAW, juga bukan para shahabat, tetapi para ulama dengan ijtihad mereka.

Ketika menetapkan syarat-syarat hadits shahih agar bisa dimasukkan ke dalam kitab As-Shahih, sesungguhnya Al-Bukhari juga sedang berijtihad. Dan kita umat muslim sedunia mengikuti ijtihad beliau dan menggunakan syarat-syarat yang beliau tetapkan.


Maka ketika Al-Imam Asy-Syafi’i yang lahir jauh sebelum zaman Bukhari meletakkan syarat dan aturan dalam mengistimbath hukum dari Quran dan Sunnah, lalu mendirikan ilmu Ushul fiqih, sebenarnya beliau telah berjasa besar kepada umat Islam. Sama dengan Al-Bukhari yang juga berjasa agar umat Islam tidak salah dalam memilih hadits.


Demikian juga ketika Abu Hanifah menetapkan dasar-dasar istimbath hukumnya, agar setiap orang tidak asal main qiyas begitu saja, sebenarnya ilmu yang beliau tetapkan itu sangat bermanfaat buat umat Islam. Sama dengan Al-Bukhari yang juga berijtihad agar umat Islam tidak jatuh ke dalam hadits palsu atau lemah.


Sayangnya, ilmu fiqih dan ushul fiqih yang sudah sejak 14 abad dijadikan standar dalam mengistimbath hukum oleh seluruh umat Islam, oleh Al-bani ingin dirobohkan begitu saja, dengan alasan kedua ilmu itu dianggap bid’ah dan hanya merupakan ijtihad manusia.



Karena itulah para ulama fiqih meradang dan marah besar kepada Al-bani yang dengan naifnya ingin merobohkan asas-asas dan sendi pokok ilmu fiqih. Salah satunya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy yang akhirnya mengajak Al-Albani bertukar fikiran, agar jangan sampai terjadi salah paham.


Sayangnya, ternyata Al-bani tetap ngotot dan bersikeras untuk meruntuhkan bangunan ilmu fiqih. Bahkan meski sudah berdialog semalam suntuk, dia tetap ‘keukeuh‘ dengan pendiriannya. Dia tetap ingin meruntuhkan ilmu fiqih karena dalam pandangannya ilmu fiqih itu bid’ah.


Maka Dr. Said Ramadhan hanya bisa menghela nafas panjang. Susah rasanya bicara dengan orang yang tidak mau mengalah dan tidak mau mengerti dengan realitas yang ada. Untuk itulah beliau kemudian menyusun tulisan sebagai counter dari serang-serangan yang selalu dilancarkan oleh Al-bani, agar umat Islam sedunia mengerti dan paham, apa sesungguhnya misi dan visi seorang Al-bani.


Judul buku itu dalam bahasa arab adalah : Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.


Dalam pandangan saya, kita memang tidak boleh terlalu fanatik dengan mazhab fiqih. Maksudnya, pendapat para ulama itu mungkin benar dan mungkin juga salah. Namanya juga ijtihad. Tetapi alangkah kelirunya kalau pendapat para ulama itu kita benturkan dengan Quran dan Sunnah. Tidak akan pernah terjadi hal itu. Sebab pendapat para ulama itu justru lahir dari Quran dan Sunnah.


Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa seorang Al-bani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.


Sayangnya, para pendukung Al-bani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-bani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik.


Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-bani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-bani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah. Apa pun yang dikatakan Al-bani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak. Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.


Padahal kapasitas Al-bani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih. Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya. Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits. Al-bani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits. Al-bani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung.


Al-bani adalah tokoh hadits yang cukup kontroversial. Setidaknya menurut sebagian kalangan. Baik di kalangan ulama hadits sendiri, apalagi . di kalangan ulama fiqih. Tetapi yang menarik, Al-bani memang sangat produktif dalam menerbitkan buku. Dan dahsyatnya, buku-buku karyanya memang cukup menghebohkan dunia ilmu syariah.


Selama ini para ulama dan ahli ilmu kebanyakan hanya diam saja dan tidak terlalu menanggapi ulah Al-bani. Dan hanya sedikit ulama yang secara serius menanggapi dan meladeninya. Salah satunya yang pernah langsung menghadapinya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy.


Namun artikel itu saya angkat bukan dengan niat untuk menjelekkan atau melecehkan, apalagi merendahkan seorang Al-bani. Dalam beberapa tulisan, saya pun banyak memuji beliau, bahkan saya banyak juga mengutip pendapat beliau. Namun dalam dunia ilmiyah, mengkritik pendapat seseorang bukan hal yang tabu. Justru semakin terbuka seseorang atas kritik, semakin tinggi nilai kemampuan ilmiyahnya.


Kalau saya menampilkan kritik atas pendapat Al-bani, jangan dianggap saya membenci beliau. Sebaliknya, justru karena saya menyukai beliau. Tapi kadang maaf ^_^ adik-adik kelas saya yang baru saja belajar agama, sering kali salah tanggap. Dikiranya kalau seseorang sudah mengkritik Al-bani, seolah dianggap memusuhinya…..

Nah, semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai ‘serangan’ kepada mereka…^_^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...