Abdullah bin Abu Bakar RA baru saja melangsungkan
pernikahan dengan Atikah binti Zaid, seorang wanita cantik rupawan dan
berbudi luhur. Dia seorang wanita berakhlak mulia, berfikiran cemerlang
dan berkedudukan tinggi. Sudah tentu Abdullah amat mencintai istri yang
sangat sempurna menurut pandangan manusia.
Pada suatu hari, ayahnya Abu Bakar RA lewat di rumah
Abdullah untuk pergi bersama-sama untuk sholat berjamaah di masjid.
Namun apabila beliau mendapati anaknya sedang bermesraan dengan Atikah
dengan lembut dan romantis sekali, beliau membatalkan niatnya dan
meneruskan perjalanan ke masjid.
Setelah selesai menunaikan sholat Abu Bakar RA sekali
lagi melalui jalan di rumah anaknya. Alangkah kesalnya Abu Bakar RA
apabila beliau mendapati anaknya masih bersenda gurau dengan istrinya
sebagaimana sebelum beliau menunaikan sholat di masjid. Kemudian Abu
Bakar RA segera memanggil Abdullah, seterusnya bertanya : " Wahai
Abdullah, adakah kamu sholat berjemaah? " Tanpa berhujjah panjang Abu
Bakar berkata : "Wahai Abdullah, Atikah telah melalaikan kamu dari
kehidupan dan pandangan hidup malah dia juga telah melupakan kamu dari
sholat fardhu, ceraikanlah dia!" Demikianlah perintah Abu Bakar kepada
Abdullah. Suatu perintah ketika Abu bakar mendapati anaknya melalaikan
hak Allah. Ketika beliau mendapati Abdullah mulai sibuk dengan istrinya
yang cantik. Ketika beliau melihat Abdullah terpesona keindahan dunia
sehingga menyebabkan semangat juangnya semakin luntur.
Lalu bagaimana tanggapan Abdullah? Tanpa membuat
dalih apatah lagi mencoba membunuh diri, Abdullah terus mengikuti
perintah ayahandanya dan menceraikan istri yang cantik dan amat
dicintainya. Subhanallah!!!
Dari dua petikan kisah di atas, marilah kita
sama-sama bertafakkur tentang hakikat dan bagaimana cinta sejati, tulus
dan suci itu sebenarnya. Sesungguhnya perjalanan hidup manusia akan
sentiasa dipenuhi dengan warna-warna cinta. Bahkan kita dapat ungkapkan
bahwa kehadiran manusia di muka bumi ini disebabkan Allah SWT meletakkan
sebuah perasaan di dalam jiwa manusia, dan dia adalah cinta.
Membicarakan tentang cinta ibarat menguras air lautan
dalam yang kaya dengan pelbagai khazanah alam. Tak kan pernah habis dan
kita akan sentiasa menemui berjuta macam benda. Dari sekecil-kecil ikan
hingga ikan paus yang terbesar. Dari kerang sampai mutiara malah jika
diizinkan Allah, kita mungkin menemui bangkai kapal dan bangkai
manusia...!!!
Usia sejarah cinta seumur dengan sejarah manusia itu
sendiri. Jika di suatu tempat ada 1000 manusia maka di situ ada 1000
kisah cinta. Dan jika di muka bumi ini ada lebih 5 million manusia, maka
sejumlah itu pulalah kisah cinta akan hadir.
Walau berapa banyak pun nuansa cinta yang menjelma
menjadi sebuah syair, drama, film,Sinetron, lagu dan berbagai bentuk
hasil seni lain, namun pada hakikatnya cinta itu hanya ada dua buah
versi saja. Versi cinta nafsu (syahwat) dan cinta Rabbani.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah mampukah kita
membedakan yang mana cinta syahwat dan mana cinta Rabbani? Derasnya arus
ghazwul fikr (serangan pemikiran) dalam kesenian terutamanya, telah
mampu membungkus cinta syahwat sehingga ia tampil sebagai cinta "suci"
yang mesti diperjuangkan, dimenangkan dan diraih seterusnya untuk
dinikmati.
Manusia seakan lupa pada sejarah. Lupa pada
kisah-kisah tragis yang berakhir di hujung pisau atau dalam segelas
racun. Mereka semua rela diseret dan dijeremuskan ke dalam lubang
‘neraka’ hanya untuk mengejar salah satu rasa dari sekian banyak rasa
yang ada disudut hati manusia, itulah cinta.
Cinta memiliki kekuatan luar biasa. Dan kekuatan
cinta (the power of love) mampu menjadikan manusia pribadi yang sangat
nekad atau sangat taat. Nekad dalam konteks sangat berani dalam
melanggar peraturan-peraturan Allah seperti berkhalwat (berdua-duaan
dengan bukan mahram), berkasih-kasihan lelaki dan perempuan, berpegangan
tangan, mempertontonkan adegan birahi percuma di khalayak ramai apatah
lagi dalam sembunyi. Atau jika cinta tak mendapat restu dari orang tua,
pasangan akan nekad, terus lari dari rumah atau berzina (na’udzubillah
min dzalik). Dan tidak sedikit pula yang begitu nekad sanggup melakukan
perbuatan yang dilaknat Allah yaitu membunuh diri demi cinta.
Pribadi-pribadi nekad seperti ini menjadikan cinta
sebagai tujuan bukan sebagai sarana mencapai tujuan. Oleh itu tidaklah
mengherankan jika kita banyak menemui berbagai perilaku aneh para
pencari cinta yang tak masuk akal. Sebab apa yang mereka tuju adalah
suatu yang abstrak, tidak jelas dan bukan perkara yang pokok. Mereka
sibuk mencari dan mengartikan makna cinta sementara lalai terhadap Dzat
yang menganugerahkan cinta. Dzat yang menumbuh suburkan rasa cinta. Dzat
yang memberikan kekuatan cinta. Dzat yang paling layak dicintai, kerana
Dia juga Empunya nikmat cinta. Allah Rabbul ‘Alamin.
Kisah tragis di awal tulisan ini memberikan gambaran
jelas sikap manusia yang rela mengorbankan diri demi sepotong cinta.
Muda-mudi yang nekad bunuh diri dengan berbagai cara ini pada dasarnya
belum mengenali hakikat cinta. Cinta yang mereka kenal selama ini adalah
cinta yang ditunggangi oleh nafsu syahwat. Dan joki penunggangnya
adalah syaitan laknatulllah. Pada momen ini syaitan berteriak keriangan
sambil mengibar-ngibarkan bendera kemenangan kerana berhasil
menjerumuskan anak cucu Nabi Adam dalam neraka jahannam dengan dalih
cinta yang begitu murah nilainya.
Cinta memang tak kenal warna. Cinta tak kenal
baik-buruk. Cinta tak kenal rupa dan pertalian darah. Memang begitulah
adanya. Kerana yang mampu mengenal warna dan baik-buruk adalah
pelaku-pelaku cinta yang menggunakan akal fikirannya.
Sebaliknya cinta juga mampu melahirkan
pribadi-pribadi yang mengagumkan. Pribadi yang tak takut kehilangan
suatu apa pun walau ia amat cinta pada sesuatu. Namun kerena cinta yang
hadir dipenuhi dengan nuansa keimanan, maka mereka rela mengorbankan apa
saja yang mereka amat cintai demi memperolehi keridhaan Dzat Pemberi
cinta. Jiwa mereka tidak gundah gulana hanya kerena kehilangan cinta
duniawi karena Allah sebagai Dzat pemberi ketenteraman Pribadi-pribadi
taat ini amat menyadari bahawa cinta hanyalah sebagai sarana mencapai
tujuan. Mereka yakin kenikmatan cinta tak ada artinya tanpa ada restu
Allah sebagai Pemberi cinta. Maka yang mereka cari adalah ridha dan
cinta kasih Allah, bukan cinta yang bersifat sementara.
Kisah Abdullah putera Abu Bakar RA menjadi contoh
kematangan pemuda yang mengenal arti cinta. Bayangkan!! Dia memiliki
isteri yang amat cantik, berakhlak mulia, berkedudukan tinggi dan
berharta. Namun apabila ayahandanya memerintahkan untuk menceraikan
isterinya, dengan alasan isterinya telah melalaikan Abdullah dalam
menunaikan hak Allah seterusnya akan membuat Abdullah lalai dari
berjihad di jalan Allah. Maka apa reaksi Abdullah? Tidak!! Abdullah
tidak marah langsung pada ayahnya. Atau berusaha mengambil pedang dan
ingin memenggal kepala si ayah yang berusaha memisahkan jalinan cinta
yang memang sudah sah itu. Sekali lagi tidak!! Pemuda yang bernama
Abdullah melihat perintah itu dengan kacamata cinta yang diberikan
Allah. Ia rela menceraikan isteri yang dicintainya demi mempererat
hubungan cinta dengan Allah. Subhanallah… Masih adakah pemuda-pemuda
seperti peribadi Abdullah di zaman modern kini?
Begitulah cinta. Ia mampu melambungkan manusia pada
derajat kemuliaan yang tak terhingga. Manakala frekuensi atau gelombang
cintanya juga sudah selaras dengan frekuensi atau gelombang cinta yang
Allah kehendaki. Semuanya akan senada seirama. Tak ada dengung sumbang,
tak ada nada ternoda. Demikian indah dan asli irama cinta sejati.Wallahu
‘Alam.........
0 komentar:
Posting Komentar