Dalam
banyak riwayat digambarkan bahwa Rosululloh SAW selalu memelihara
sholat secara berjamaah. Sepanjang melaksanakan sholat, mereka menjalin
hubungan mesra, bukan saja dengan Alloh (hablum minalloh), melainkan
juga dengan sesama manusia (hablum minan-nas).
Keseluruhan
gerakannya mengilustrasikan persamaan dan kesetaraan, sekaligus
mengikat kuat kebersamaan dan kedekatan satu sama lain. Dalam suasana
batin yang tulus, jasad yang bersih, tak ada kata yang terucap kecuali
mengagungkan Alloh SWT. Setelah seorang imam menutup surat al-Fatihah, jamaah pun menjawab, "amin".
Dalam
sholat, mereka menyamakan persepsi, sikap, dan bahkan perilaku.
Lihatlah, ketika waktu sholat tiba, mereka menghentikan sementara
seluruh aktivitas yang tengah dilakukannya. Mereka bergegas mendatangi
rumah-rumah Alloh dan bertasbih menghormati tempat suci itu. Semua
berbaris rapi, mengikuti isyarat yang sama untuk melakukan gerakan yang
sama pula.
Keseluruhan
perasaannya tercurah total kepada Sang Pencipta. Di pengujung sholat,
semua serempak menebar keselamatan, "Assalamu'alaikum", sebagai wujud
penghambaan kepada-Nya dan penghormatan kepada sesamanya. Inilah wujud
kebersamaan yang dibangun di atas nilai-nilai religiusitas keislaman.
Pada kesempatan itulah Rosululloh SAW memelihara kerukunan dengan para
sahabat. Nasihat-nasihatnya disampaikan untuk mempertebal keyakinan
dalam berkhidmat pada kepentingan ajaran. Mengalirlah kata-kata hikmah
dari seorang Nabi pilihan Alloh, "Bangun keakraban di antara sesama".
Kini, pemandangan sejarah itu semakin kabur, suasana rukun pelan-pelan
lenyap. Rosululloh pun melihat pemandangan akhir zaman itu dalam suasana
perih. Seolah tak sanggup menyaksikan kenyataan porak-porandanya umat,
terpecah-pecah kepentingan dan egoisme. Semangat primordial yang sering
mengancam kebersamaan, dan begitu mudah merobohkan tiang-tiang
persaudaraan.
Mungkin
ada hikmah di balik rasa perih itu, mengapa Alloh SWT tak mengamini
kehendak Rosululloh untuk tetap menjaga kokohnya kebersamaan? Di antara
rasa perih dan keharusan menyampaikan risalah inilah, Nabi SAW tak lelah
memberi nasihat, "bangunlah keakraban". Keakraban memang dapat
menjembatani segala bentuk kebekuan, terutama kebekuan psikologis yang
sering merusak kebersamaan.
Keakraban
juga mendorong tumbuhnya solidaritas dan kerja sama untuk mewujudkan
kesadaran kolektif mengikat umat. Lebih memprihatinkan lagi ketika
suasana itu melilit hubungan antarumat beragama. Memang, istilah 'umat
beragama' telah lama menjadi ungkapan yang sangat akrab. Namun, belum
tentu setiap orang memberikan apresiasi yang sama. Umat beragama, di
satu sisi, dapat dilihat sebagai wujud kebersamaan individu yang terikat
pada nilai-nilai agama. Ia adalah potensi sosial yang dapat menjadi
kekuatan raksasa dalam mewujudkan cita-cita kolektif menuju
kesejahteraan bersama.
Tapi,
di sisi lain, kerap kali umat beragama hanya dipandang sebagai kekuatan
politik yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sesaat. Karena itu, sangat
mungkin, jika agama cenderung berperan sebagai pemicu konflik ketimbang
perekat kebersamaan.
Wallohu A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar