English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Belajar Dan Berbagi Ilmu Serta Nasehat Untuk Mempererat Ukhuwah Islamiyah
free counters

Jumat, 10 Agustus 2012

ASWAJA (AHLUSUNNAH WALJAMAAH)

A. PENGERTIAN ASWAJA
 
Istilah “Ahlus Sunnah Waljamaah”adalah sebuah istilah yang dieja-Indonesiakan dan kata Ahlusunnah Waljamaah” اهل السنه والجماعه.Ia merupakan rangkaian dari kata-kata:
a. Ahl (Ahlun), berarti “galongan”atau “pengikut’
b. Al-Sunnah (al-Sunnatu), berarti “tabiat/perilaku jalan hidup/perbuatan yang mencakup ucapan dan tindakan Rasulullah SAW.
c. Wa, yang berarti “dan atau “serta”’

d. Al-Jamaa’ah (al-jamaah), berarti ‘Jamaah” yakni jamaah para sahabat Rasul SAW. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Dengan demikian, maka secara etimologis, istilah “Ahlusunnah Waljamaah / golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasul SAW. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada Sunnah Rasul dan Sunnah (Tariqah) para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat empat (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Talib).
Selanjutnya, jalan hidup Rasul SAW. tidak lain ialah ekspresi nyata dari isi kandungan al-Quran. Ekspresi nyata tersebut kemudian biasa diistilahkan dengan “al- Sunnah” atau “al-Hadits’ Kemudian, al-Quran sebagai Wahyu Ilahi, terkemas sendiri dalam mushaf al-Quran al Karim”; sedangkan ekspresi nyatanya pada diri Rasul SAW. pun terkemas secara terpisah dalam “mushaf al-sunnah. al-hadits’ seperti dalam Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, sunan Al Tirmizi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah, serta Kitab-kitab al Hadits yang disusun oleh para ulama lainnya.
Sementara itu, para sahabat, khususnya sahabat empat; adalah generasi pertama dan utama dalam melazimi “Perilaku Rasulullah SAW., sehingga jalan hidup mereka praktis merupakan penjabaran nyata dan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Setiap langkah hidupnya, praktis merupakan aplikasi dari norma-norma yang terkandung dan dikehendaki oleh ajaran Islam, serta mendapat petunjuk dan kontrol langsung dari baginda Rasul SAW. Oleh karena itu, jalan hidup mereka relatif terjamin kelurusannya dalam mempedomani ajaran Islam, sehingga jalan hidup mereka pulalah yang paling tepat menjadi rujukan utama setelah jalan hidup Rasul SAW.
Adapun wujud kongkritnya, Ahlussunnah Waljamaah tidak lain ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh terhadap petunjuk al-Quran dan al Sunnah al Sahihah. Artinya dalam segala hal selalu merujuk kepada petunjuk al-Quran dan al-Sunnah.
Dengan kata lain, Ahlussunnah Waljamaah ialah golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasul SAW. dan jejak hidup para sahabatnya, dengan senantiasa berpegang teguh kepada al-Qunan dan A-Sunnah.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِفْتَرَ قَتْ الْيَهُوْدُ عَلَىءِاحْدَىوَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, وَاَفْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ائْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. وَتَفَرَّقَ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً (رواه الاربعه)
“Dari sahabat Abu Hurairah ra. dia berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda : Umat Yahudi telah pecah menjadi 71 golongan dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Sementara umatku bakal pecah menjadi 73 golongan” (Abu Dawud, al-Tirmizi, al-Nasa’i, Ibnu Majah).
Hadits ini, tidak secara tegas menyatakan adanya golongan yang disebut “Ahlussunnah Waljamaah”. Tetapi baru diisyaratkan bakal terpecahnya umat Rasulullah SAW menjadi 73 golongan (firqah). Maka golongan ahlussunnah Waljamaah berarti salah satu dari ke-73 golongan tersebut.
Hadits lain, yakni yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah Ibnu Umar ra., bahwasanya Nabi SAW. bersabda:
...وَاِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً. كُلُّهُمُ فِى النَّارِ اِلاَمِلَّةً وَاحِدَةً. قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَارَسُوْل اللهِ؟ قَالَ: مَا اَنَا عَلَيْهِ وَاَصْحَابِي (رواه الترمذى)

“... Dan sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi 72 golongan. Sementara umatku bakal terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali hanya satu golongan saja. Para sahabat bertanya: Siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? jawabnya: Itulah golongan yang senantiasa mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku”. (HR. Al Tirmizi).
Dalam teks hadits ini, meskipun belum secara tegas terungkap istilah “Ahlussunnah Waljamaah”; namun maknanya sudah tersirat di dalamnya, yakni bahwa golongan yang selamat dari ancaman neraka itu adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak (Jalan hidup) Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Padahal, makna yang demikian inilah yang kita maksudkan sebagai batasan (pengertian) Ahlussunnah Waljamaah.
Dengan demikian, maka golongan Ahlussunnah Waljamaah ialah satu-satunya golongan umat Rasul yang selamat dari ancaman neraka. Hal ini lebih tegas lagi diungkapkan dalam hadits lain yang berbunyi:
وَالَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. فَوَاحِدَةً فَى الْجَنَّةُ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ (رواه الطبرانى)
(Rasulullah SAW) bersumpah: Demi zat yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku bakal terpecah, menjadi 73 golongan. Maka yang satu golongan masuk syurga, sedangkan yang 72 golongan masuk neraka. Sedang sahabat bertanya : Siapakah golongan yang masuk itu ya Rasulullah? Jawabnya Yaitu golongan Ahlussunnah Waljamaah” (HR. al-Tabrani)
Teks Hadits secara langsung menyebutkan kata “Ahlussunnah Waljamaah” sebagai satu-satunya golongan yang dinyatakan bakal masuk surga. Berdasarkan ketiga hadits tersebut,jelaslah bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak golongan, Sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Di antara sekian banyak (73) golongan itu, terdapat satu golongan yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah SAW. dan jejak hidup para sahabatnya. Dan golongan yang selamat (masuk surga) itu tidak lain ialah golongan Ahlussunnah Waljamaah.

...فَعَلَيْكُمُ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيينَ, تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُوْا عَلَيْهَا بِاالنَّوَاحِذِ (ابو داوود)

“....Maka berpegang teguhlah kalian terhadap Sunnah-ku serta sunnah Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk’ Pedomanilah sunnah (jalan hidup) mereka dan pegangilah erat-erat !“ (HR. Abu Dawud).


B. SEJARAH PERKEMBANGAN PAHAM ASWAJA

1. Periode Nabi
Periode Rasulullah SAW, yakni suatu masa ketika Rasul SAW masih hidup, pastilah ajaran Islam dilaksanakan secara baik dan benar, tepat benar dengan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah dan tidak menyimpang sedikitpun. Khususnya oleh pribadi Rasul SAW sebagai suri-teladan yang terbimbing langsung melalui bimbingan Ilahiah. juga oleh para sahabat yang terbimbing dan terkontrol langsung oleh Rasulullah SAW.
Amaliah Rasul, mustahil jika sampai menyimpang dari petunjuk al-Quran. Karena amaliahnya inilah yang bakal diteladani oleh para sahabat dan umat berikutnya. Maka mustahil pula jika dia teledor dalam membimbing dan mengontrol amaliah para sahabatnya.
Selanjutnya, amaliah (fisik dan batin) Rasulullah SAW yang mempribadi dan diteladankan kepada para sahabat secara langsung serta kepada para pengikutnya sepanjang zaman secara tidak langsung, inilah yang disebut-sebut sebagai “al-Sunnah’ Dan amaliahnya yang diteladani secara langsung oleh para sahabat, yang kemudian melekat menjadi jalan hidup mereka itulah yang kemudian di sebut-sebut sebagai tariqah sababat.
Al-Sunnah yang diteladankan Rasul SAW itu pastilah benar dan tepat sesuai petunjuk al-Quran. Sedangkan tariqah para sahabat, khususnya yang secara langsung melazimi Sunnah Rasul SAW sehari-harinya, terlebih lagi sahabat empat yang pada gilirannya disebut “Khulafa’ al Rasyidin’ praktis sesuai benar dengan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Inilah substansi makna Ahlussunnah Waljamaah.

2. Periode Sahabat
Kehidupan umat Islam pasca Rasul SAW, khususnya dibaiatnya sahabat Abu Bakar al-Siddiq ra. menjadi khalifah sampai berakhirnya masa kekhatifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw. (karamAliahu wajhah),nyaris bernuansa lain dan mulai muncul perpecahan sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Rasul SAW sendiri dalam beberapa haditsnya.

Sampai dengan masa kekhalifahan sahabat Umar bin Al-Khattab ra., perpecahan memang belum begitu kentara. Tetapi mulai kekhalifahan sahabat Usman bin Affan ra., fenomenanya mulai nampak jelas. Dan pada masa kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw. Perpecahan mulai menjadi sebuah kenyataan. Dampak dan perpecahan ini, pada gilirannya menjadi sumber perbedaan paham di tengah umat Islam dalam mempedomani ajaran Islam.
Sejarah mencatat, bahwasanya sejak sahabat Abu Bakar ra. dibaiat menjadi khalifah, muncul gerakan pembangkang zakat yang menjadi sendi (rukun) Islam. Di pihak lain, muncul pula gerakan anti-Islam di bawah komando nabi-nabi palsu seperti : Musailamah al-Kazzab, Aswad al-Ansi, danTuhailah bin Khuwailid.
Meluasnya wilayah pemerintahan Islam di bawah pimpinan sahabat Umar ra., pun tak urung menimbulkan dendam terpendam dan para penguasa yang ditaklukkannya. Timbullah gerakan di bawah tanah untuk menyusupkan ajaran agama mereka ke dalam ajaran Islam dengan target untuk menghancurkan Islam dari dalam. Indikasinya sangat jelas, yakni terungkapnya kisah-kisah israiliyat di dalam beberapa disiplin keilmuan, bahkan lebih nyata lagi pada kasus pembunuhan terhadap khalifah Umar ra. sendiri.
Dalam sejarah dibuktikan bahwa pembunuh Umar ra. adalah Abu Lu’luah, Hurmuzan (keduanya asal Persia/Yahudi) dan jufainah (Nasrani). Inilah indikasi nyata adanya dendam kesumat dari pihak negara-negara yang ditaklukkan sahabat Umar ra. Dan mereka ini pastilah orang-orang non-Ahlussunnah Waljamaah!
Pada masa pemerintahan Usman ra. (23-35H), nuansa perpecahan kian meningkat dan issu nepotisme pun mulai merebak. Lidah Provokator ulung Abdullah bin Saba’ (si Yahudi yang pura-pura Islam), mulai berhasil mempengaruhi dan meracuni para elit politik. Perasaan tidak puas terhadap kepemimpinan Usman semakin menjadi-jadi, kontra politik sengaja dibesar-besarkan, dan pemberontakan demi pemberontakan terjadi di Kufah, Basrah, Mesir, dan tempat-tempat lain dengan tujuan untuk menjatuhkan kepemimpinan sahabat Usman ra.
Di sisi lain, muncul pula sebuah mazhab yang di kenal dengan “wisayah” yang tidak lain didirikan oleh provokator cerdik Abdullah bin Saba Isi mazhab itu berupa doktrin bahwa Rasul SAW ditegaskan telah berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib ra. sebagai pengganti dalam kedudukan khalifah. Maka diserukan kepada khalayak bahwa Ali-lah yang berhak menduduki jabatan khalifah, Usman dan dua pendahulunya tidak sah, bahwa perampas hak Ali.
Mazhab Wisayah itu diperkuat lagi dengan adanya paham yang disebut “Haq Ilahi” yang sama-sama dicetuskan oleh provokator licin Abdullah bin Saba Isinya ialah menyatakan bahwa kedudukan khalifah adalah hak Tuhan, dan hak Tuhan itu jatuh kepada sahabat melalui wasiat Rasul.
Dengan demikian, praktis pada masa kepemimpmnan sahabat Usman ra. ini, golongan non Ahlussunnah Waljamaah sudah mulai berani menampakkan diri.
Apalagi pada masa kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw. Partai-partai politik mulai bermunculan dengan latar belakang perbedaan golongan (paham) yang berbeda-beda. Partai Syi’ah yang mengklaim berada di belakang Ali ra, jelas sudah menyimpang dan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. Mereka pun akhirnya terpecah menjadi banyak golongan yang bertumpu pada tiga golongan besar, yakni Syi’ah aI-Ghulah, Rafidah, dan Syi’ah Zaidiyyah.
Penyimpangan yang dilakukan kaum Syi’ah dengan berbagai golongan itu, antara lain:
a. Berani memasukkan kepercayaan Yahudi dan Nasrani serta Hindu Samani dan Majusi Mani tentang paham inkarnasi (al-khulul) dan paham reinkarnasi (al tanashukh).
b. Mengkultuskan sahabat Ali kw, seraya mengkafirkan tiga sahabat (khalifah.) sebelumnya.
c. Menolak pendapat ljma’ dan Qiyas, serta membolehkan kawin kontrak (mut’ah).
Selain Syi’ah. partai yang cukup besar ialah partai Khawarij. Mereka adalah orang-orang yang keluar dari golongan Ali dan menyatakan sebagai pembela Usman yang pada gilirannya berhadapan dengan Syi’ah.
Jika dirunut dari masa kepemimpinan Abu Bakar ra. sampai masa kepemimpinan Ali bin Abi Talib kw. (1140 H/632-661 M), umat Islam tidak luput dari nuansa perpecahan yang berakibat pada nuansa perbedaan paham. Namun paham-paham yang muncul dan sampai keluar dari rel Ahlussunnah Waljamaah (al-Quran dan al Hadits) pada dasarnya tidak sebanding dengan jumlah mereka yang masih berada di relnya.

3. Periode Tabi’in

Maksud periode tabi’in dalam hal ini ialah periode pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw. yang ditengarai oleh munculnya sekte-sekte Islam yang banyak mendapat sorotan para ulama dan ahli sejarah, seperti:
a. Qadariyah
b. Murji’ah; dan
c. Jabbariyah.
Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad aljuhani dan al-Dimasyqi, antara lain berpendapat bahwa manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan sama sekali Tuhan.
Sedangkan pendapat yang paling menonjol dari sekte Murji’ah yang dipelopori oleh Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Salah al-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, ialah menangguhkan hukuman duniawi hingga hari kiamat. Hal ini lebih dilatarbelakangi oleh sikap apatis mereka terhadap pertikaian politik semenjak masa kekhalifahan Usman bin Affan ra. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukumnya kelompok Syi’ah, Khawarij, Mu’awiyah, ataupun kelompok Ali sendiri yang non-Syi’ah. Bagaimana hukum masing-masing semua diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tetapi kemudian pendapatnya meluas termasuk meniadakan hukum qisas, diyat atau hukuman bagi pezina, semua hukuman ditunda sampai hari kiamat dihadapan Tuhan.
Sementara itu sekte jabariyah dengan pendirinya Jaham bin Safwan, atau sering pula disebut sekte Jahamiyah, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh Qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik buruknya Qadar Tuhan. Pendapat ini bertolak belakang 180 derajat dengan pendapat sekte Qadariyah.
Tentang keempat sekte ini, sebagian ulama berpendapat hanya ada dua sekte. Yakni, sekte Qadariyah adalah nama lain dari Mu’tazilah, dan sekte Murji’ah adalah nama lain dari jabariyah atau jahamiyah. Dan pengaruhnya sangat kuat, hingga kini terus mewarnai percaturan kalam (teologis) umat Islam ialah sekte Mu’tazilah.
Nama “Mu’tazilah” hanyalah nisbat terhadap ucapan Syekh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang amat radikal, yakni Wasil bin Ata al-Ghazal (80-131 H). I’tazil Anna! (keluarlah dari perguruanku!). Maka Wasil ini pula yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah.
Wasil sendiri menamakan sektenya Ahl al-Adl wa al Tauhid (golongan yang berpaham adil dan mengEsakan Tuhan), sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah bahwa Tuhan membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa campur tangan Qadar-Nya. Sedangkan tauhid menunutnya ialah bahwa Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat, Dia tidak memiliki sifat-sifat.
Keradikalan Mu’tazilah, meskipun kemudian sekte ini terpecah sampai 22 sekte yang berbeda; semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal, nyaris mengabaikan petunjuk naqli (al-Quran dan al-Sunnah). Bahkan menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk (ciptaan Tuhan) dan bersifat hadits (baru). Pernyataan terakhir iniIah yang kemudian disebut oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (batu ujian bagi para ulama mayoritas yang tetap berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan, bukan makhluk-Nya dan atau Qadim.
Sampai dengan periode tabi’in ini, istilah Ahlussunnah Waljamaah tetap belum muncul secara institusional (lembaga). Namun golongan yang secara substansial berada di dalamnya, yakni tetap berpegang teguh kepada petunjuk al-Quran dan al-Sunnah; tetap saja berjumlah mayoritas. Dari golongan mayoritas ini lebih sering disebut-sebut sebagai golongan Al-Salaf al-Salih.

4. Perlode Imam Mazhab Empat

Periode Imam Mazhab Empat pada dasarnya merupakan periode kemunculan aliran (mazhab) di bidang fiqh yang jumlahnya semua sangat banyak. Namun kemudian tinggal empat mazhab saja yang hingga kini diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam. Keempat mazhab itu ialah:
a. Hanafi, dengan pendirinya/imamnya Abu Hanifah (80- 150H)
b. Maliki, dengan imamnya Malik bin Anas (93-170 H),
c. Syafi dengan imamnya Muhammad bin Idris al Syafi (150-204 H).
d. Hanbali, dengan imamnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (164-241 H).
Keempat Imam Mazhab tersebut adalah para penegak substansi paham Ahlussunnah Waljamaah yang sangat andal. Selain di bidang fiqh, mereka pun banyak menyinggung lingkup kalam (akidah) dan akhlak yang semuanya tetap merujuk pada Sunnah Rasul dan tariqoh para sahabat (khususnya sahabat empat), dengan senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk al-Quran dan al-Sunnah.

5. Periode Imam Al-Asyari-Al Maturidi
Periode ini pada dasarnya merupakan periode institusi Ahlussunnah Waljamaah, khususnya dalam lingkup kalam (teologi). Karena semenjak kemunculan dua tokoh besar al-Asy’ari dan al-Maturidi, terasa sedemikian melembaganya nama Ahlussunnah Waljamaah.
Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H) berada di Basrah dan Abu Mansur al-Maturidi (248-333 H) berada di Khurasan yang saling berjauhan dan praktis tidak pernah berkomunikasi itu, secara kebetulan sama-sama berjuang keras menegakkan Akidah (kalam) Ahlussunnah Waljamaah dengan menolak paham Mu’tazilah yang hingga itu terus berkembang dan mendapat dukungan politis dan pihak khalifah dan daulah Abasiyah terutama khalifah al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Wasiq.
Meski kemasan institusi al-Asy’ari dan al-Maturidi hanya sebatas dalam lingkup kalam, namun mengingat secara substansial paham Ahlussunnah Waljamaah sudah melekat kuat di dada mayoritas umat semenjak zaman Rasul SAW.; maka selain pemikiran kalam mereka berdua segera mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak dan berbagai penjuru juga memperkuat institusi Ahlussunnah Waljamaah sebagai sebuah paham mazhab) mayoritas muslimin.

6. Periode Imam Al-Ghazali-Al-Junaid

Al-Ghazali, yang bernama lengkap “Zain al-Din abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali’ dan bergelar “Hujjah al-Islam” (pembela umat Islam), lahir di Tus (450-505 H) adalah seorang besar yang sangat populer di kalangan umat.
Popularitas al-Ghazali, memang tidak hanya di satu keilmuan belaka, melainkan di berbagai bidang dikenal sebagai tokoh penerus kalam al-asy’ariyah, fiqh Syafiiyah, filosof muslim, dan bidang-bidang lainnya, terutama di bidang Tasawuf dengan monumentalnya berjudul Ihya ‘Ulum al-Din.
Ketokohan al-Ghazali di bidang Tasawuf (akhlak) sebenarnya didahuiui oleh kemunculan seorang tokoh di bidang yang sama Imam al-junaidi al-Baghdadi (w. 910 M) yang lebih dikenal dengan “aljunaid’
Kedua tokoh ini kemudian mempermantap institusi Ahlussunnah Waljamaah, khususnya dalam lingkup tasawuf (akhlak) : setelah periode sebelumnya dalam lingkup fiqh dipelopori oleh imam Mazhab Empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris al Syafi’i, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal); dan dalam lingkup kalam, (akidah) dipelopori oleh al-Asy’ari dan al Maturidi.

C. RUANG LINGKUP
Paham Ahlussunah Waljama’ah meliputi tiga ruang lingkup yaitu : Lingkup akidah, lbadah, dan akhlak. selanjutnya, untuk membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah Waljamaah tersebut dengan lingkup-lingkup lain, perlu ditegaskan dengan menyebut masing masingnya menjadi Akidah Ahlussunnah waljamaah, Ibadah (fiqh) Ahlussunnah Waljamaah, dan Akhlak Ahlussunnah Waljamaah.
1. Akidah Ahlussunnah Waljamaah
Adapun institusi akidah (kalam) yang sejalan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah ialah institusi akidah yang dicetuskan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi. Meski sama persis pemikiran kalam mereka berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhadap petunjuk naql. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logika Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naql.
Dengan demikian, maka dalam konteks historis, paham Ahlussunnah Waljamaah adalah sebuah paham yang dalam lingkup akidah mengikuti pemikiran kalam al Asy’ari atau al-Maturidi. Yang institusinya kemudian disebut al-Asy’ariyah atau al-Maturidiyah. Dan sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang menyebar-kembang kan pemikiran kalam al-Asy’ari dan al-Maturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti: Al-Baqilani, al-Juwaini (imam al-Haramain), al-Isfirayini, Abu Bakar al-Qaffal, al-Qusyairi, Fahr al-Din al-Razi, Izz al-Din’Abd al Salam, termasuk al Ghazali dan al-Bazdawi. Dan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di Indonesia ialah pemikiran kalam al-Asy’ari yang telah dikembangkan oleh al-Ghazali yang lebih dikenal sebagai tokoh sufistik.
Jauh (berabad-abad) pasca tokoh-tokoh tersebut, di Indonesia dikenal pula tokoh-tokoh al-Asy’ariyah (Asya’irah) seperti: Syekh al-Sanusi, Syekh al-Syarqawi, Syekh al-Bajuri, Syekh Nawawi Banten, Syekh al-Tarabilisi, Syekh al-Fatani, dan lain-lain. Yang tidak mustahil. pemikiran kalam mereka sudah berbeda dengan pemikiran kalam al-Asy’ari sendiri atau setidak-tidaknya ada nuansa lain.

2. Fiqh Ahlussunnah Waljamaah
Dalam konteks historis, institusi fiqh yang sejalan dengan konteks substansial paham Ahlussunnah Waljamaah ialah empat mazhab besar dalam fiqh Islam, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Bahwa mazhab Hanafi dianut pula oleh mu’asis (pendiri) kalam at Maturidiyah, yakni Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula oleh muassis kalam at Asy’ariyah, yakni Abu al-Hasan al-Asyari.
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya di antara keempat fiqh tersebut satu sama lain banyak ditemui perbedaan di sana sini. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam koridor ikhtilaf-rahmat (perbedaan yang membawa rahmat). Abu Hanifah yang dikenal sebagai ahl al-ra’yi (banyak menggunakan akal/logika), tidak mengklaim pendapatnya sebagai terbenar. Dan ketiga Imam yang lain pun tidak pernah menyalahkan pendapat mazhab yang lain.
Keempat Imam Mazhab tersebut sama-sama commited terhadap petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas ‘ala al-’aql (mendahulukan petunjuk nas daripada logika). Dalam berijtihad, mereka tidak mengedepankan akal kecuali sebatas untuk beristimbat (menggali hukum dan al Quran dan al-Hadits), tidak sampai mensejajarkan apa lagi mengabaikan nas. Dan inilah substansi paham Ahlussunnah Waljamaah.
3. Akhlak Ahlussunnah Waljamaah
Adapun lingkup yang ketiga ini, paham Ahlussunnah Waljamaah mengikuti wacana akhlak (tasawuf) yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti al Ghozali, al junaid, dan tokoh-tokoh lain yang sepaham termasuk Abu Yazid al-Bustami. Pemikiran akhlak mereka ini memang tidak melembaga menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagaimana dalam lingkup akidah (kalam) dan fiqh. Namun wacana mereka itu sejalan dengan substansi paham Ahlussunnah Waljamaah serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam.
Diskursus Islam kedalam lingkup akidah, ibadah, dan akhlak ini bukan berarti pemisahan yang benar-benar terpisah. Ketiga-tiganya tetap Integral dan harus diamalkan secara bersamaan oleh setiap muslim, termasuk kaum Sunni” (kaum yang berpaham Ahlussunnah Waljamaah). Maka seorang muslim dan seorang sunni yang baik, dalam berakidah, dalam beribadah sekaligus dalam berakhlaq. Seseorang baru baik akidah dan ibadahnya saja Ia belum bisa dikatakan baik, jika akhlaknya belum baik.
Oleh karena itu, maka lingkup akhlak tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia justru teramat penting dan menjadi cerminan Ihsan dalam diri seorang muslim. Jika Iman menggambarkan akidah, dan Islam menggambarkan ibadah; maka akhlak akan menggambarkan ihsan yang sekaligus mencerminkan kesempurnaan iman dan Islam pada diri seseorang. Iman ibarat akar, dan “Islam” ibarat pohonnya; maka “Ihsan” ibarat buahnya.
Mustahil sebatang pohon akan tumbuh subur tanpa akar dan pohon yang tumbuh subur serta berakar kuatpun akan menjadi tak bermakna tanpa memberikan buah secara sempurna. Mustahil seorang muslim beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat, dan akidah yang kuat serta ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa terhiasi oleh akhlak mulia.
Idealnya, ialah berakidah kuat, beribadah dengan baik dan benar, serta berakhlak mulia. Beriman kuat, berislam dengan baik dan benar, serta berihsan sejati. Maka yang demikian inilah wujud insan kamil/(the perfect man) yang dikehendaki oleh paham Ahlussunnah waljamaah.

D. POLA PIKIR ASWAJA
Nampaklah bahwa pola pikir yang diisyaratkan oleh paham Ahlussunnah Waljamaah adalah taqdim al nas dan rasional. Atau mengutamakan nas tetapi dalam memahami nas itu digunakanlah logika filsafat yang rasional.

1. Taqdim al-Nas

Pola pikir taqdim al-Nas (mendahulukan petunjuk nas) ini terindikasikan oleh komitmen tegas Ahlussunnah Waljamaah dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari aneka upaya liberalisasi serta pemikiran bid’ah yang kian menggejala dan kompleks.
Purifikasi dimaksud tidak lain ialah menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan vital dalam setiap aspek kehidupan. Yang dalam hal, ini mencakup aspek akidah, ibadah, dan aspek akhlak. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya pada periode awal kelahiran Islam.
Dengan pola pikir taqdim al-Nas ini, ajaran Islam akan terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim. Dalam lingkup akidah, terhindar dari, pemikiran kalam liberal yang terlalu mendewa-dewakan kemampuan akal. Dalam lingkup ibadah, terlepas dari egoisme pembenaran pendapat pribadi ataupun mazhab. Dan dalam lingkup akhlak akan terhindar dari pemikiran-pemikiran mistis non Islam.
Semua aspek kehidupan, praktis akan terpayungi oleh kebenaran “mutlak”al-Quran dan al-Sunnah. Peran logika-filsafat yang menjelma dalam pemikiran kalam, tetap ternaungi oleh kebenaran “mutlak” al-Quran dan al-Sunnah. Perbedaan pendapat fiqhiyah yang memang interpretable, tetap menjadi ikhtilaf-rahmat, Pemikiran-Pemikiran tasawuf pun tetap sejalan dengan Nas. Pemikiran-pemikiran bid’ah seperti paham al ahlul dan wihdah al-wujud (inkarnasi, reinkarnasi) jelas-jelas bukan ajaran Islam; praktis akan tercounter dengan sendirinya.

2. Rasional
Taqdim al-Nas memang menjadi komitmen pola pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, namun secara filosofis tidak berarti menganulir atau menafikan kebenaran rasio (akal). Bahkan akal mendapat tempat yang sangat terhormat dalam paham Ahlussunnah Waljamaah, sejalan dengan penghormatan yang diberikan oleh semangat Nas itu sendiri.
Kata aqal (akal) itu sendiri dengan berbagai bentuk, banyak didengung-dengungkan dalam al-Quran, termasuk juga di dalam al-Sunnah. Itu berarti, paham taqdim al-Nas otomatis menempatkan rasio dalam tempat yang amat terhormat. Keterhormatannya itu berarti pula memberi semangat kepada umat agar berpola pikir rasional.
Hanya saja, mengingat kemampuan akal sangat terbatas dan variatif, mustahil dapat menembus kebenaran mutlak dan hasilnya bervariasi antara akal yang satu dengan yang lain. maka secara logis pula; akal bukanlah bandingan naql (Nas). Menjadi hal yang irrasional jika sampai mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal dengan kebenaran naql. Sama halnya dengan membandingkan antara kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan.
Oleh karena itu, pola pikir yang dikembangkan dalam paham Ahlussunnah Waljamaah tidak lain ia, menempatkan rasio/akal pada tempatnya. Akal di tempatkan sebagai alat bantu untuk memahami kandungan naql. Itupun terbatas pada apa yang bisa dijangkau oleh kemampuan akal. Sehingga penggunaan ta’wil (penafsiran ayat secara metafores/majazi), dalam paham Ahlussunnah Waljamaah sangat terbatas pada ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya mengandung perserupaan Tuhan dengan makhluk) dan ayat-ayat tertentu lainnya, dengan pana’ wil yang terbatas pula (tidak terlalu mendalam).
Dengan pola pikir yang demikian, maka paham Ahlussunnah Waljamaah justru senantiasa represetatif dalam setiap zaman, sejalan dengan representatif ajaran Islam itu sendiri sampai kapan pun dan di manapun, bahkan dalam keadaan yang bagaimana pun. Akan senantiasa aktual dan up to date.

E. HAKIKAT ASWAJA
Setelah dipelajari mulai dari batasan hingga pola pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, akhirnya dapat diketahui bagaimana hakikat atau dalam hal ini esensi: paham Ahlussunnah Waljamaah. Ternyata Ia tak lain merupakan paham ahlulhaq pemberantas ahlulnbid’ah dan merupakan pemurni ajaran Islam.
1. Ahlulhaq
Jika dalam konteks historis, para ulama memberikan istilah lain bagi Ahlussunnah Waljamaah sebagai Ahlulhaq (Ahl al-haq), yang berarti sebagai golongan yang benar; maka sangatlah tepat. Mengapa ? Karena Ia komitmen dalam mengikuti Sunnah Rasul dan tariqah para sahabatnya dengan senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk al- Quran dan al-Sunnah.
Bukankah ajaran Islam adalah ajaran yang hak. Dan bukankah sumber ajaran yang haq tu ialah al-Quran dan al Sunnah yang juga dijunjung tinggi oleh Ahlussunnah Waljamaah. Itulah letak ketepatan istilah Ahlulhaq bagi paham Ahlussunnah Waljamaah. Lantaran pahamnya sejalan dan membela serta memperjuangkan kebenaran ajaran islam yang Haq.
Tak dipungkiri memang bahwa paham Ahlussunah Waljamaah juga menyepakati kebenaran “Ijma” Qiyas’ terutama sebagai acuan hukum dalam lingkup kalam. Sementara itu, kalaupun dalam perkembangan historis, Ahlussunnah Waljamaah kemudian berpihak kepada institus-institusi (mazhab-mazhab) yang muncul dalam lingkup akidah dan ibadah atau berpihak kepada wacana al Ghazali dalam lingkup akhlak/tasawuf; Ia tetap tidak bergeser sedikitpun dari komitmennya terhadap Sunnah Rasul dan jalan hidup para sahabat sebagai acuan dalam mempedomani petunjuk Nas. Dan keberpihakannya Itupun tetap tertuju kepada madzhab dan wacana yang tidak menyimpang dari komitmen tersebut.

2. Pemberantas Ahlulbid’ah
Istilah “bid’ah” dalam keseharian, kadang-kadang menjurus pada artian sempit. Ia hanya digunakan dalam konteks fiqhiyah, di mana amaliah ibadah yang tidak sama persis dengan amaliah Rasul, kemudian dikatakannya sebagai amal “bid’ah’ Bahkan terlalu picik jika sampai digunakan sebagai ungkapan teror semata untuk menghantam pihak lain yang dianggapnya tidak sepaham.
Jika sampai terjadi demikian, maka si penteror itu sendiri justru masuk dalam kategori ‘bid’ah Karena Islam pastilah tidak mengajarkan yang demikian itu. Kata “bid’ah” memang tidak keliru jika diartikan dengan kata “baru”, karena itu amaliah yang tidak sama persis dengan amalian Rasul pun tidak keliru dikatakan sebagai amal bid’ah. Namun pengertian “sama persis” itu sendiri harus ditegaskan dalam konteks apa jika pengertian “sama persis” itu yang dimaksud adalah konteks ajarannya yang ada dalam al-Quran dan al-Sunnah, maka tepat sekali dikatakan sebagai bid’ah terhadap segala sesuatu yang tidak sejalan atau bahkan menyimpang dan petunjuk al Quran dan al-Sunnah.
Lingkup akidah, ibadah ataupun akhlak yang menyimpang dari petunjuk al-Quran dan al-Sunnah, itulah kategori bid’ah. Maka pengikut Syi’ah, Mu’tazilah, jabanyah, Wihdah al-Wujud, al-Hulul (al-Hallaj) termasuk paham Manunggaling Kawula-Gusti (Syekh Siti Jenar di Jawa), adalah contoh-contoh yang nyata Ahlul bid’ah (Ahl al-Bid’ah).
Maka paham Ahlus Waljamaah tidak hanya menolak dan menentang paham Ahlulbid’ah tersebut, melainkan juga berusaha menganulirnya dengan memberikan argumen-argumen logika (rasional) untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq.

3. Pemurni Ajaran Islam

Paham’Ahlussunnah Waljamaah sebagai paham/penganut ajaran Islam murni, yakni yang ditunjukkan oleh al-Quran dan al-Sunnah serta diteladankan oleh baginda Rasul SAW. beserta para sahabat utamanya, dalam perkembangan historisnya senantiasa committed dengan ajaran Islam yang murni itu dan menentang setiap upaya penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak Ahlulbid’ah.
Baik dalam lingkup akidah, ibadah, maupun lingkup tasawuf, paham Ahlussunnah Waljamaah sejak periode awalnya selalu committed untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan ulah tercela Ahlulbid’ah.
Karena itu, banyak kalangan menilai paham Sunni (Ahlussunnah Waljamaah) ini sebagai purifikasi (pemurni) ajaran Islam yang oleh para ahli di Barat disebut dengan lstilah Orthodox Sunni School.
Demikianlah jawaban tentang apa dan bagaimana paham Ahlussunnah Waljamaah, yang diharapkan dapat dipahami secara proporsional oleh semua kalangan Sunni sebagai langkah aktualisasi awal paham yang disebut sebut paham pemurni ajaran Islam

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...