Menurut Pemahaman Salafi-Wahabi - Tidak Boleh Menyerahkan Anak Perempuan Ke Ustadz atau ke Pesantren karena Hal ini tidak ada Di ZAMAN SALAFUSH SHALIH.
Postingan kali ini saya copaskan lagi...LANGSUNG DARI WEBSITE WAHABI
JUDUL: Menyerahkan Anak Prempuan Ke Ustadz
بسم الله الرحمن الرحيم
Apakah boleh menyerahkan anak prempuan kita ke seorang ustadz atau ke pondok pesantren yang dinamakan dengan TN (Tarbiyatun Nisa’) supaya di didik
Jawaban :
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، أما بعد: Tidak boleh bagi seseorang untuk menyerahkan putri-putrinya ke seorang ustadz atau ke pondok pesantren, tidak didapati di zaman salafush shalih ada dari mereka menyerahkan putri-putri mereka ke pondok pesantren, yang ada di zaman salafush shalih adalah mereka menyerahkan putri-putri mereka kepada seseorang dengan tujuan untuk dinikahi, sebagaimana perkataan Allah Ta’ala: قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ [القصص/27] “Dia (Syu'aib) berkata: "Sesungguhnya aku ingin menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua putriku ini…”. (Al-Qashshash: 27)
Sebelum Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam menyerahkan salah satu dari ke dua putrinya kepada Nabi Musa ‘Alaihis Salam, beliau mendidik sendiri kedua putrinya. Bila ada yang mengatakan: “Nabi Syu’aib kan seorang nabi yang berilmu, lalu bagaimana dengan para orang tua yang kebanyakannya tidak memiliki ilmu”. Maka solusinya: Bila ada pengajian Ahlussunnah di masjid yang disediakan tempat khusus untuk para wanita (di balik hijab) maka dia memerintahkan dan mendorong putrinya untuk hadir, setelah pengajian putrinya kembali ke rumahnya sebagaimana yang terjadi di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; para shahabat dari kalangan wanita meminta Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dibukakan pengajian maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membukakan pengajian untuk mereka, setelah pengajian selesai maka mereka langsung kembali ke rumah-rumah mereka masing-masing.
Bila ada yang berkata: “Bagaimana kalau di kampungnya tidak ada ustadz, apa yang harus dia lakukan?”
Maka solusinya: Dia bersabar sebagaimana bersabarnya Istri Fir’aun Ash-Shiddiqah Asiyah Radhiyallahu ‘Anha, yang mana dia tidak kabur dari rumah untuk mencari seorang ustadz.
Bila tidak bisa sabar maka orang tua segera menyerahkannya ke seorang ustadz untuk menikahinya, bila ustadznya “balagu” (tidak mau menikah dengan putrinya) maka diserahkan ke seorang Ahlussunnah untuk menikahinya, yang dengan itu keduanya berbagi rasa dalam menikmati kehidupan sambil menuntut ilmu agama, bila keduanya diberi rezki maka keduanya ke pondok pesantren dengan menyewah rumah atau membuat rumah di sekitar pondok, bila selesai pengajian maka istrinya langsung ke rumahnya tersebut.
Adapun sistem pondok pesantren wanita atau yang dikenal dengan TN (Tarbiyatun Nisa’) maka dia mirip dengan sekolah Biarawati, para wanita kumpul satu asrama, tidur bersama sampai ada……, apa yang mereka lakukan itu sebagai pengakuan dalam mengikuti sunnah Ibu Nabi Isa’ Ash-Shiddiqah Maryam Radhiyallahu ‘Anha. Maka kita katakan: Sangat jauh dari mengikuti sunnah Ash-Shiddiqah Maryam Radhiyallahu ‘Anha karena ada beberapa sisi
Pertama: Maryam berdiam di kamarnya dalam keadaan bersendirian, tidak bersama yang lainnya.
Kedua: Maryam dididik langsung oleh mahromnya yaitu orang tuanya sendiri, adapun sekolah biarawati atau TN yang mendidiknya siapa? Masih kah punya malu bapak-bapak TN itu?!!! Ataukah sudah hilang sifat malunya sehingga berani….?!!! Allahul Musta’an.
Maka sungguh benar kalau Syaikh kami Imam Darul Hadits As-Salafiyyah Dammaj menganggap TN muhdats (bid’ah), namun karena TN ini teranggap hebat dan luar biasa khususnya di kalangan para penggemar TN maka Syaikh kami Hafizhahullah sangat berlemah lembut dalam memperingatkan bapak-bapak TN, ketika Abu Salman Musthafa Al-Buthony dan jaringannya tidak menerima tentang muhdats-nya TN maka terjadilah perselisihan antara Salafiyyun dengan Salmaniyyun, ketika Syaikh kami mengetahui perselisihan tersebut disebabkan karena beberapa faktor diantaranya masalah TN maka beliau berkata: “Abu Salman salah dan dia mempunyai syubhat” dan beliau memerintahkan untuk tetap menjalin ukhuwah dengannya dan melarang dari meng-hajr-nya.
Namun karena Abu Salman masih terus membela TN dan tetap tidak puas serta terus menampakan dirinya kalau dia adalah termasuk dari Bapak-bapak TN, maka dia akhirnya melampiaskan dengan dengan memakai pakaian wisudawati TN, dengan sebab itu dia pun akhirnya mendapatkan tambahan gelar “Al-Ustadz Al-Fadhil Abu Salman Mushtofa AB (Abu Abayah), dia pun akhirnya mendapatkan laknat: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ ، وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ. “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki”. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairoh).
Maka hendaklah orang yang memiliki TN, yang membela TN, yang memasukan putri-putrinya ke TN atau yang membela bapak-bapak TN untuk bertaqwa dan takut jangan sampai bernasib seperti Bapak TN Al-Ustadz Al-Fadhil Abu Salman Mushthafa Al-Buthony AB. karena Allah Ta’ala berkata: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ [النور/63] “Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (An-Nuur: 63). Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: «وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا». “Dan laknat Allah atas orang yang membela (menaungi) pelaku bid’ah”. (HR. Al-Bukhary dalam “Al-Adabul Mufrad”, Muslim dan An-Nasa’y dari ‘Ali bin Abi Thalib). Dijawab oleh Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limbory Hafizhahullahu Waro’ahu.
رد مع اقتباس
SUMBER
Mudah-mudahan Bermanfaat.....
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh......
0 komentar:
Posting Komentar