English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Belajar Dan Berbagi Ilmu Serta Nasehat Untuk Mempererat Ukhuwah Islamiyah
free counters

Sabtu, 25 Agustus 2012

BAGAIMANA CARA MENGIKUTI PEMAHAMAN SALAFUS SHOLEH


Oleh : Abdie El


Sungguh bagus dan mulia motto sebagian saudara muslim kita, yakni : “Belajar Islam Sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Menurut Pemahaman Para Sahabat“....
hhemm…benarkah demikian????..^_^…


Inilah pokok kesalahpahaman selama ini yang menjadikan sebagian umat muslim gemar mentakfirkan sesama saudara muslim, terpecah belah, saling berlepas diri, saling berdebat bahkan saling bertengkar seperti kejadian di NTB Salafi adalah mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka




Pertanyaan sekarang adalah bagaimana cara mengikuti pemahaman dan cara beragama mereka ??
Ada tiga metode “cara mengikuti” atau penyampaian dari Salafush Sholeh yakni :


1. Penyaksian langsung atau bergaul, hidup sezaman dengan para Salafush Sholeh


2. Penyampaian dari mulut ke mulut / lisan / temu muka atau dikenal dengan sanad ilmu/ pengijazahan atau bisa pula sanad silsilah (keturunan).


3. Mengikuti yang paling lemah adalah melalui tulisan / literatur karena tidak ada proses konfirmasi apa yang dipahami.


Imam Mazhab yang empat termasuk yang menggunakan metode 1 karena mereka bertemu dengan Salafush Sholeh :
 (1) Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu:


Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.

Guru-gurunya yang lain para Tabi’in. Abu Hanifah menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.


Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama fungsinya.


Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in banyak tinggal di madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi, Sunnah Rasul.

(2)Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya.

Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya, diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai untuk dasar hukum.


(3)Imam Syafi’i sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.


Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pndah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.


Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki.


Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).


Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui bliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.

(4)Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’I, ketika beliau berada di Bagdad.


Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurunya. Sebagai bukti atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “ayahku telah menghafal diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta).


Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dari yang 10.000.000 itu.


Jadi Imam Mazhab yang empat menggunakan metode yang paling shahih dalam mengikuti pemahaman dan cara beragama para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, tabi’in, tabi’ut tabi’in….”Lalu bagaimana metode yang dipergunakan oleh para syaikh/ulama/ustadz yang mengaku menisbatkan kepada Salafush Sholeh ?”


Pada umumnya dengan metode 3 yakni melalui tulisan , mereka memahami melalui tulisan tanpa dapat konfirmasi sehingga…maaf..^-^,… bercampur dengan pemahaman mereka sendiri.


Menurut Al-bani, semua orang haram hukumnya merujuk kepada ilmu fiqih dan pendapat para ulama. Setiap orang wajib langsung merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan untuk memahaminya, tidak dibutuhkan ilmu dan metodologi apa pun. Keberadaan mazhab-mazhab itu dianggap oleh Al-bani sebagai bid’ah yang harus dihancurkan, karena semata-mata buatan manusia.


Tentu saja pendapat seperti ini adalah pendapat yang keliru besar. Ilmu fiqih dan mazhab pada ulama yang ada itu bukan didirikan untuk menyelewengkan umat Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah. Justru ilmu fiqih itu sangat diperlukan sebagai metodologi yang istimewa dalam memahami Quran dan Sunnah.


Menurut Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, kedudukan ilmu fiqih kira-kira sama dengan kedudukan ilmu hadits. Keduanya tidak pernah diajarkan secara baku oleh Rasulullah SAW. Ilmu hadits atau juga dikenal dengan ilmu naqd (kritik) hadits, juga merupakan produk manusia, hasil ijtihad, bukan ilmu yang turun dari langit.


Tapi dengan ilmu hadits, kita jadi tahu mana hadits yang shahih, mana hadits yang dhaif dan mana hadits yang maudhu’. Padahal yang menyusun ilmu hadits itu bukan Rasulullah SAW, juga bukan para shahabat, tetapi para ulama dengan ijtihad mereka.

Ketika menetapkan syarat-syarat hadits shahih agar bisa dimasukkan ke dalam kitab As-Shahih, sesungguhnya Al-Bukhari juga sedang berijtihad. Dan kita umat muslim sedunia mengikuti ijtihad beliau dan menggunakan syarat-syarat yang beliau tetapkan.


Maka ketika Al-Imam Asy-Syafi’i yang lahir jauh sebelum zaman Bukhari meletakkan syarat dan aturan dalam mengistimbath hukum dari Quran dan Sunnah, lalu mendirikan ilmu Ushul fiqih, sebenarnya beliau telah berjasa besar kepada umat Islam. Sama dengan Al-Bukhari yang juga berjasa agar umat Islam tidak salah dalam memilih hadits.


Demikian juga ketika Abu Hanifah menetapkan dasar-dasar istimbath hukumnya, agar setiap orang tidak asal main qiyas begitu saja, sebenarnya ilmu yang beliau tetapkan itu sangat bermanfaat buat umat Islam. Sama dengan Al-Bukhari yang juga berijtihad agar umat Islam tidak jatuh ke dalam hadits palsu atau lemah.


Sayangnya, ilmu fiqih dan ushul fiqih yang sudah sejak 14 abad dijadikan standar dalam mengistimbath hukum oleh seluruh umat Islam, oleh Al-bani ingin dirobohkan begitu saja, dengan alasan kedua ilmu itu dianggap bid’ah dan hanya merupakan ijtihad manusia.



Karena itulah para ulama fiqih meradang dan marah besar kepada Al-bani yang dengan naifnya ingin merobohkan asas-asas dan sendi pokok ilmu fiqih. Salah satunya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy yang akhirnya mengajak Al-Albani bertukar fikiran, agar jangan sampai terjadi salah paham.


Sayangnya, ternyata Al-bani tetap ngotot dan bersikeras untuk meruntuhkan bangunan ilmu fiqih. Bahkan meski sudah berdialog semalam suntuk, dia tetap ‘keukeuh‘ dengan pendiriannya. Dia tetap ingin meruntuhkan ilmu fiqih karena dalam pandangannya ilmu fiqih itu bid’ah.


Maka Dr. Said Ramadhan hanya bisa menghela nafas panjang. Susah rasanya bicara dengan orang yang tidak mau mengalah dan tidak mau mengerti dengan realitas yang ada. Untuk itulah beliau kemudian menyusun tulisan sebagai counter dari serang-serangan yang selalu dilancarkan oleh Al-bani, agar umat Islam sedunia mengerti dan paham, apa sesungguhnya misi dan visi seorang Al-bani.


Judul buku itu dalam bahasa arab adalah : Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid’ah Paling Gawat Yang Menghancurkan Syariat Islam.


Dalam pandangan saya, kita memang tidak boleh terlalu fanatik dengan mazhab fiqih. Maksudnya, pendapat para ulama itu mungkin benar dan mungkin juga salah. Namanya juga ijtihad. Tetapi alangkah kelirunya kalau pendapat para ulama itu kita benturkan dengan Quran dan Sunnah. Tidak akan pernah terjadi hal itu. Sebab pendapat para ulama itu justru lahir dari Quran dan Sunnah.


Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa seorang Al-bani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri.


Sayangnya, para pendukung Al-bani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-bani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik.


Disinilah letak ketidak-adilan para pendukung Al-bani. Seolah-olah mereka mendudukkan Al-bani sebagai orang yang paling mengerti dan paling tahu isi Quran dan Sunnah. Apa pun yang dikatakan Al-bani tentang pengertian Quran dan Sunnah, dianggap kebenaran mutlak. Sedangkan kalau ada ulama lain berbicara dengan merujuk kepada Quran dan Sunnah juga, dianggap sekedar ijtihad dan penafsiran.


Padahal kapasitas Al-bani yang sebenarnya bukan ahli tafsir, juga bukan ahli fiqih. Bahkan sebagai ahli hadits sekalipun, banyak para ulama hadits di masa sekarang ini yang masih mempertanyakan kapasitasnya. Sebab secara tradisi, seorang ahli hadits itu idealnya punya guru tempat dia mendapatkan riwayat hadits. Al-bani memang tidak pernah belajar hadits secara tradisi lewat perawi dan sanad, sebagaimana umumya para ulama hadits. Al-bani hanya sekedar duduk di perpustakaan membolak-balik kitab, kemudian tiba-tiba mengeluarkan statemen-statemen yang bikin orang bingung.


Al-bani adalah tokoh hadits yang cukup kontroversial. Setidaknya menurut sebagian kalangan. Baik di kalangan ulama hadits sendiri, apalagi . di kalangan ulama fiqih. Tetapi yang menarik, Al-bani memang sangat produktif dalam menerbitkan buku. Dan dahsyatnya, buku-buku karyanya memang cukup menghebohkan dunia ilmu syariah.


Selama ini para ulama dan ahli ilmu kebanyakan hanya diam saja dan tidak terlalu menanggapi ulah Al-bani. Dan hanya sedikit ulama yang secara serius menanggapi dan meladeninya. Salah satunya yang pernah langsung menghadapinya adalah Dr. Said Ramadhan Al-Buthy.


Namun artikel itu saya angkat bukan dengan niat untuk menjelekkan atau melecehkan, apalagi merendahkan seorang Al-bani. Dalam beberapa tulisan, saya pun banyak memuji beliau, bahkan saya banyak juga mengutip pendapat beliau. Namun dalam dunia ilmiyah, mengkritik pendapat seseorang bukan hal yang tabu. Justru semakin terbuka seseorang atas kritik, semakin tinggi nilai kemampuan ilmiyahnya.


Kalau saya menampilkan kritik atas pendapat Al-bani, jangan dianggap saya membenci beliau. Sebaliknya, justru karena saya menyukai beliau. Tapi kadang maaf ^_^ adik-adik kelas saya yang baru saja belajar agama, sering kali salah tanggap. Dikiranya kalau seseorang sudah mengkritik Al-bani, seolah dianggap memusuhinya…..

Nah, semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai ‘serangan’ kepada mereka…^_^

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...