English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Belajar Dan Berbagi Ilmu Serta Nasehat Untuk Mempererat Ukhuwah Islamiyah
free counters

Sabtu, 28 Juli 2012

KENDURI ARWAH, TAHLILAN, YASINAN MENURUT PARA ULAMA. SESAT KAH???


Hal itu merupakan pendapat orang-orang yang kalap dan gerasa-gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yang mau bersedekah pada muslimin?Apalagi membahas ibadah yang benar-benar baik dan tidak mendatangkan mudharat (bahaya) ini.Ini dalil-dalilnya : 
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004).

Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu – tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah. Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka???

Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu.

Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).

Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram.

Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah – istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dan hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yang dangkal dalam pemahaman syariahnya.

3. Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy 
Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah jika ada yang wafat.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki 
Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang – orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul wahhab) menafsirkan kalimat “makruh” adalah hal yang dibenci, tentu mereka salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah, bukan bicara dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa dan secara syariah, maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang dibenci, namun dalam syariah adalah hal yang jika dilakukan tidak dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Namun mereka ini tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa, mana buku yang membahas hukum syariah.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah 
Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam – macam, hal ini makruh, (bukan haram).

Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu – tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiri pun maka tak ada pula yang memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan. Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa-apa ..? Datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasiun luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???

Tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.Bahkan Rasul s.a.w memerintahkan diadakan makanan dirumah duka, sebagaimana hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya Jakfar bin Abi Thalib : “Buatkan makanan untuk keluarga (alm) Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal – hal yang menyibukkan mereka” (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru menunjukkan bahwa Rasul s.a.w memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka. Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.

Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini dalil bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan, namun mereka lupa bahwa hadits ini justru perintah Rasul saw agar disiapkan makanan dirumah duka, karena beliau saw bukan mengatakan tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan perintahnya jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian (bukan untuk satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka”. Apa? para tamu.

Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).

Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi 5 bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165).

Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.

Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yang makruh), karena Bid’ah tercela itu tidak semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan – hiasan warna – warni membentuk pemandangan atau istana – istana dan burung – burung misalnya, ini adalah bid’ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun bid’ah buruk yang makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.

Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا ل إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)

Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).
(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah bahkan hal yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu)

Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :

Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang – orang” (Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)

Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya kuat).

Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yang membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372)

Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس !، إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan.
(Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)


Kini saya ulas dengan kesimpulan :

1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan yang dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits No.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?

3. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.

4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan, dengan landasan sabda Rasul saw : “Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, sungguh mereka sedang dirundung kesedihan”

5. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang telah saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk menjamu tamunya jika ia wafat.

6. Boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau catering untuk menyambut tamu – tamu, karena pelarangan akan hal itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.

7. Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka.

Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih 1.000 ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.Wallahu'alam bisshowab wal musta'an......

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...