English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Belajar Dan Berbagi Ilmu Serta Nasehat Untuk Mempererat Ukhuwah Islamiyah
free counters

Selasa, 31 Juli 2012

MAKAM AL BAQI

Asal Muasal Al-Baqi
Secara harfiah “Al-Baqi” berarti taman pepohonan. Maqbarat Al-Baqi’ (مقبرة البقيع, Pemakaman Al-Baqi’) Jannatul Baqi merupakan sebuah komplek pemakaman di kota Madinah, Arab Saudi, yang letaknya persis melewati Masjid Nabawi, area bagian tenggara dari masjid. Pemakaman ini juga dikenal sebagai Jannatul Baqi’ (جنة البقيع). Nama ini berarti “Taman Surga”, karena “keramatnya” sejak keluarga dan sahabat Rasulullah dimakamkan di tempat ini. Nama lain yang dikenal adalah Baqi’ Al-Gharqad. Baqi berarti taman atau tanah yang tumbuh tanaman dan Al-Garqad mengacu pada pohon besar shawii Lycium  (Arab Boxthorn, dalam bahasa Arab: Alaosaj), sebuah spesies tanaman Boxthorn.

Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah dari Mekkah pada bulan September 622, Al-Baqi ditutupi dengan pohon Lycium shawii .

Masjid Nabawi merupakan masjid yang dibangun tepat di mana Nabi Muhammad SAW biasa menjalani kehidupannya dan membangun masjidnya di mana saat ini beliau dimakamkan. Karena itu pemakaman ini memiliki banyak arti penting. Di tempat itu dimakamkan jasad para sahabat dan keluarga Nabi SAW. Riwayat menyebutkan bahwa Nabi melakukan doa setiap kali beliau melewati pemakaman.

Pada masa pembangunan Masjid Nabawi, As’ad bin Zararah, salah seorang sahabat Nabi wafat. Nabi Muhammad memilih daerah itu sebagai pemakaman dan As’ad adalah orang pertama yang dimakamkan di pemakaman Al-Baqi’ dari kalangan Anshar. 

Sementara Rasulullah SAW berada di luar Madinah untuk Pertempuran Badar, puterinya Raqayyah jatuh sakit dan meninggal pada 624.

Riwayat lain menyebutkan sahabat pertama yang dimakamkan di Al-Baqi’ adalah Utsman bin Madhun yang wafat pada 3 Sya’ban tahun 3 Hijiriah. Utsman bin Madhun dianggap sebagai sahabat pertama Nabi Muhammad dari kalangan Muhajirin untuk dikubur di Pemakaman Al-Baqi. Rasulullah memerintahkan menanam pepohonan di sekitar pusaranya. Rasulullah juga meletakkan dua buah batu di antara makam sahabatnya itu.

Tahun berikutnya putra Rasulullah, Ibrahim, wafat saat masih bayi. Dengan derai air mata Rasulullah memakamkan putranya tercinta itu di Al-Baqi. Sejak itulah penduduk Madinah ikut juga memakamkan sanak saudaranya di Al-Baqi. Apalagi setelah mendengar sabda Rasulullah:
  • ”Salam sejahtera untukmu wahai orang yang beriman, Jika Allah berkenan , kami akan menyusulmu. Ya Allah, ampunilah ahli kubur Al-Baqi’.

Pemakaman Al-Baqi’ (Makam Keluarga dan Sahabat Nabi) Dihancurkan
Pada hari Rabu 8 Syawal 1345 Hijriah bertepatan dengan 21 April 1925 M, pemakaman Jannatul Baqi’ di Madinah diratakan dengan tanah atas perintah Raja Ibnu Saud (Raja Abdul Aziz bin Saudi dari Arab Saudi). Di tahun yang sama pula Raja Ibnu Saud itu menghancurkan makam orang-orang yang disayangi Rasulullah SAW (Ibunda, Istri, kakek dan keluarganya) di Jannat Al-Mualla (Mekkah).

Penghancuran situs bersejarah dan mulia oleh Keluarga Al-Saud yang Wahabi itu terus berlanjut hingga sekarang. Menurut beberapa ulama apa yang terjadi di tanah Arabia itu adalah bentuk nyata konspirasi Yahudi melawan Islam, di bawah kedok Tauhid. Sebenarnya, tujuan utamanya adalah secara sistematis ingin menghapus pusaka dan warisan Islam yang masih tersisa agar Kaum Muslim terputus dari sejarah Islam.

Penghancuran situs suci di Hijaz oleh Saudi, yang diawali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berlanjut hingga sekarang. Keluarga Kerajaan Arab Saudi mempraktekkan bentuk Islam kaku yang disebut Wahhabisme, dan telah melakukan pemusnahan terhadap makam tersebut. Hasilnya, kitab dan peta yang ada di makam disita oleh penguasa. Sementara itu Raja-raja Saudi dijaga dengan ketat menghabiskan jutaan dollar? Meski demikian, makam orang-orang suci ini tetap dikunjungi oleh peziarah dan pemakaman juga berlanjut di pemakaman ini.


Makam pada Masa Utsmaniah
Tanah pemakaman Al-Baqi perlahan pun diperluas. Perluasan makam pertama dalam sejarah dilakukan oleh Muawiyah I, pemimpin Umayyah pertama. Dia membeli tanah tetangga yang luas di mana Utsman bin Affan dimakamkan sehingga berada di dalam pemakaman Al-Baqi. Umayyah membangun kubah pertama di Al-Baqi di atas kuburan Ustman bin Affan. Beberapa waktu kemudian dalam sejarah ada begitu banyak kubah dan bangunan yang dibangun di atas kuburan terkenal Al-Baqi.

Tak kurang dari 7000 sahabat Rasulullah dikuburkan di sini. Termasuk juga ahlul baitnya yaitu Imam Hasan bin Ali, Imam Ali bin Husayn, Imam Muhammad Al-Baqir, dan Imam Ja’far Ash-Shadiq.

Selain itu saudara Rasulullah yang dimakamkan di Al-baqi adalah, Bibi Safiyah dan Atikah. Di Al-Baqi dimakamkan pula Fatimah binti Al-Asad (Ibunda Imam Ali bin Abi Thalib).

Imam mazhab sunni yang terkenal Malik bin Anas juga dimakamkan di Al-Baqi. Tak pelak Al-Baqi adalah tempat amat bersejarah bagi Kaum Muslimin di seluruh jagat raya.

Penghancuran Makam
Sejak 1205 H hingga 1217 H kaum Wahabi mencoba menguasai Jazirah Arabia namun gagal. Akhirnya 1217 H mereka berhasil menguasai Thaif dengan menumpahkan darah Muslim yang tak bersalah. Mereka memasuki Mekkah tahun 1218 H dan menghancurkan semua bangunan dan kubah suci, termasuk kubah yang menaungi sumur Zamzam. Tahun 1221 H, kaum Wahabi masuk kota Madinah dan menajiskan Al-Baqi dan semua masjid yang mereka lewati. Usaha menghancurkan makam Rasulullah berhenti karena protes masyarakat Muslim dunia.

Pada hari Rabu 8 Syawal 1345 H bertepatan dengan 21 April 1925, pemakaman Jannatul Baqi’ dihancurkan oleh Raja Abdul Aziz bin Saudi dari Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia juga menghancurkan makam manusia suci di Jannatul Mualla (Mekkah) di mana ibunda Nabi Muhammad (Sayyidah Aminah as), istri Nabi, kakek dan leluhur Nabi dikuburkan. Kejadian ini menimbulkan protes dari masyarakat Muslim dunia.

Penghancuran situs suci di Hijaz oleh Saudi, yang diawali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab berlanjut hingga sekarang. Hasilnya, kitab dan peta yang ada di makam disita oleh penguasa. Meski demikian, makam orang-orang suci ini tetap dikunjungi oleh peziarah dan pemakaman juga berlanjut di pemakaman ini.

Banyak kaum Syiah yang melanjutkan untuk mengenang hari itu ketika Dinasti Saud menghancurkan pemakaman Al-Baqi, semata-mata karena di sanalah dimakamkan keluarga Nabi Muhammad SAW. Mereka menyebut hari itu (8 Syawal) sebagai Yaum Al-Gham (Hari Kesedihan). Kaum Syiah terus melakukan protes kepada pemerintah Saudi atas penghancuran ini.

Di tahun-tahun berikutnya jemaah haji asal Irak, Suriah dan Mesir ditolak untuk masuk kota Mekkah untuk berhaji. Raja Al-Saud memaksa setiap muslim yang ingin berhaji harus menjadi wahabi atau jika tidak akan dicap sebagai kafir dan dilarang masuk kota Mekkah.

Al-Baqi Dalam Perspektif Ahli Sejarah
Umar bin Jubair melukiskan Al-Baqi saat ia berkunjung ke Madinah berkata:

 ”Al-Baqi terletak di timur Madinah. Gerbang Al-Baqi akan menyambut anda saat tiba di Al-Baqi. Saat anda masuk kuburan pertama yang anda lihat di sebelah kiri adalah kuburan Safiyah, bibi Rasulullah. Agak jauh dari situ terletak pusara Malik bin Anas, Salah seorang Imam Ahlus Sunnah dari Madinah. Di atas makamnya didirikan sebuah kubah kecil. Di depannya ada kubah putih tempat makam putra Rasulullah, Ibrahim. 

Di sebelah kanannya adalah makam Abdurahman bin Umar putra Umar bin Khaththab, dikenal sebagai Abu Shahma. Abu Shahma dihukum cambuk oleh ayahnya karena minum khamr. Hukuman cambuk untuk peminum khamr seharusnya tidak hingga mati. Namun Umar mencambuknya hingga ajal merenggutnya. Di hadapan kuburan Abu Shahma adalah makam Aqil bin Abi Thalib dan Abdullah bin Ja’far At-Tayyar. Di muka kuburan mereka terbaring pusara isteri Rasul dan Abbas bin Abdul Muthalib.

Makam Imam Hasan bin Ali, terletak di sisi kanan dari gerbang Al-Baqi. Makam ini dilindungi kubah tinggi . Di sebelah atas nisan Imam Hasan adalah makam Abbas bin Abdul Muthalib. Kedua makam diselimuti kubah tinggi. Dindingnya dilapisi bingkai kuning bertahtakan bintang indah. Bentuk serupa juga menghias makam Ibrahim putra Rasulullah. Di belakang makam Abbas berdiri rumah yang biasa digunakan Fatimah binti Rasulullah. Biasa disebut “Bayt Al-Ahzaan” (rumah duka cita). Di tempat ini putri Rasulullah biasa berkabung mengenang kepergian ayahnya tercinta Rasulullah SAW. Di ujung penghabisan Al-Baqi berdiri kubah kecil tempat Utsman dimakamkan. Di dekatnya terbaring ibunda Ali bin Abi Thalib, Fatimah binti Asad.”

Satu setengah abad kemudian pengelana terkenal Ibnu Batutah mengunjungi Al-Baqi dan menemukan Al-Baqi tidaklah berbeda dengan yang dilukiskan Ibnu Jubair. Ia menambahkan:
  •  “Al-Baqi adalah kuburan sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar dan sahabat Nabi lainnya. Kebanyakan mereka tidaklah dikenal’.
Berabad-abad lamanya Al-Baqi tetap keramat dengan berbagai perbaikan bangunan yang diperlukan. Semuanya berakhir diabad 19 kala Kaum Wahabi muncul. Mereka menajiskan pusara mulia dan menunjukkan sikap kurangajar pada para syahid dan para sahabat Nabi yang dimakamkan di sana. Muslim yang tidak sependapat dicap sebagai kafir dan dikejar-kejar untuk dibunuh.

Atas (makam Abbas) - Kiri ke kanan (makam Imam Hasan, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja'far Ash-Shadiq)

Penghancuran Pertama Al-Baqi


Kaum Wahabi percaya menziarahi makam dan pusara Nabi, Imam dan para syuhada adalah pemujaan terhadap berhala dan pekerjaan yang tidak Islami. Mereka yang melakukanya pantas dibunuh dan harta bendanya dirampas. Sejak invasi pertama ke Irak hingga kini, faktanya Kaum Wahabi, dan penguasa Negara teluk lainnya membantai Kaum Muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Tak pelak lagi seluruh dunia Islam sangat menghormati pemakaman Al-Baqi. Khalifah Abu Bakar dan Umar bahkan menyatakan keinginannya untuk dimakamkan di dekat makam Rasulullah.


Al-Baqi pun diratakan dengan tanah tanpa menyisakan apapun, termasuk nisan atau pusara. Belum puas dengan tindakan barbarnya Kaum Wahabi memerintahkan tiga orang kulit hitam yang sedang berziarah ke pusara Nabi untuk menunjukkan tempat persembunyian harta benda. Raja Ibnu Saud merampas harta benda itu untuk dirinya sendiri.

Ribuan Muslim melarikan diri dari Mekkah dan Madinah. Mereka menghindari kejaran Kaum Wahabi. Muslim seluruh dunia mengutuk tindakan Saudi dan mendesak khalifah kerajaan Ottoman menyelamatkan situs-situs bersejarah dari kehancuran. Di bawah pimpinan Muhammad Ali Basha mereka menyerang Hijaz, dengan bantuan suku-suku setempat, akhirnya mereka menang. Lalu ia mengatur hukum dan pemerintahan di Hijaz, khususnya Mekkah dan Madinah. Sekaligus mengusir keluarga Al-Saud. Muslim di seluruh dunia bergembira. Di Mesir perayaan berlanjut hingga 5 hari! Tak diragukan lagi kegembiraan karena mereka bisa pergi haji dan pusara mulia pun diperbaiki lagi.

Tahun 1818 Masehi Khalifah Ottoman, Abdul Majid dan penggantinya Abdul Hamid dan Mohammad, merekonstruksi semua tempat suci, memperbaiki semua warisan Islam yang penting. Dari 1848 hingga 1860, biaya perbaikan telah mencapai 700 ribu Poundsterling. Sebagian besar dana diperoleh dari uang yang terkumpul di makam Rasulullah SAW.

Tindakan Barbar Kedua Kaum Wahabi
Kerajaan Ottoman telah mempercantik Madinah dan Mekkah dengan memperbaiki semua bangunan keagamaan dengan arsitektur bercita rasa seni tinggi. Richard Burton, yang berkunjung ke makam Rasulullah tahun 1853 dengan menyamar sebagai muslim asal Afghanistan dengan nama Abdullah mengatakan Madinah dipenuhi 55 mesjid dan kuburan suci. Orang Inggris lain yang datang ke Madinah tahun 1877-1878 melukiskan keindahan yang setara dengan Istambul. Ia menulis tentang dinding putih, menara berhias emas dan rumput yang hijau.

Tahun 1924 Wahabi masuk ke Hijaz untuk kedua kalinya Untuk kedua kalinya pula pembantaian dan perampasan dilakukan. Orang-orang di jalan dibantai. Tak terkecuali perempuan dan anak-anak jadi korban. Rumah-rumah diratakan dengan tanah.

Awn bin Hashim menulis: lembah-lembah dipenuhi kerangka manusia, darah kering berceceran di mana-mana. Sulit untuk menemukan pohon yang tidak ada satu atau dua mayat tergeletak di dekat akarnya.

Madinah akhirnya menyerah setelah digempur habis Kaum Wahabi. Semua warisan Islam dimusnahkan. Hanya pusara Nabi SAW yang tersisa.

Ibnu Jabhan (Ulama Wahabi) memberikan alasan mengapa ia merasa harus meratakan makam Nabi SAW:
  • ”Kami tahu nisan di makam Rasulullah bertentangan dengan akidah dan mendirikan mesjid di pemakamannya adalah dosa besar.’
Pusara Sang Syahid Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi) beserta syahid perang Uhud lainnya dihancurkan. Masjid Nabi dilempari. Setelah protes dari Kaum Muslim dunia, Ibnu Saud berjanji akan memperbaiki bangunan bersejarah tersebut. Namun janji itu tidak pernah ditepati. Ibnu Saud juga berjanji Hijaz akan dikelola pemerintahan multinasional, khsusnya menyangkut Madinah dan Mekkah. Namun janji itu tinggallah janji.

Hujan Protes
Tahun 1926 protes massal Kaum Muslim bergerak di seluruh dunia. Resolusi diluncurkan dan daftar kejahatan Wahabi dibuat. Isinya di antaranya adalah:
1. Penghancuran dan penodaan tempat suci, di antaranya rumah kelahiran Nabi, pusara Bani Hasyim di Mekkah dan Jannat Al-Baqi (Madinah), penolakan wahabi pada muslim yang melafalkan Al-Fatihah di makam-makam suci tersebut.
2. Penghancuran tempat ibadah di antaranya Masjid Hamzah, Masjid Abu Rasheed, dan pusara para Imam dan sahabat.
3. Campurtangan pelaksanaan ibadah haji
4. Memaksa muslim mengikuti inovasi wahabi dan menghapus aturan atas keyakinan yang diajarkan para Imam mazhab
5. Pembantaian para sayid di Thaif, Madinah, Ahsa dan Qatif
6. Meratakan kuburan para Imam di Al-Baqi yang sangat di hormati kaum Syiah

Protes yang sama bermunculan di Iran, Irak, Mesir, Indonesia dan Turki. Mereka mengutuk tindakan barbar Saudi Wahabi. Beberapa ulama menulis traktat dan buku untuk mengabarkan dunia fakta-fakta yang terjadi di Hijaz adalah konspirasi karya Yahudi melawan Islam dengan berkedok Tauhid. Tujuan utama adalah menghapus secara sistematis akar sejarah Kaum Muslim sehingga nantinya Kaum Muslim kehilangan asal-usul keagamaannya.

Tindakan barbar Kaum Wahabi boleh jadi menginspirasi peristiwa bersejarah lainnya. Sejarah perang dunia kedua mengingatkan kita akan kekejaman Nazi Jerman. Orang-orang Yahudi melarikan diri setelah dikejar-kejar untuk dibunuh Nazi. Kekejaman Hitler diperingati dunia (Khususnya Jerman dan sekutunya). Kini Nazi dilarang dan orang yang mengusung simbol-simbolnya bisa dihukum dan diusir dari Jerman. Hitler dan Nazi Jerman membantai jutaan Yahudi (versi Ahmadinejad tidak mungkin sebanyak itu). Hitler tidak merusak bangunan karya Yahudi. Hitler tidak merusak kuburan. Bandingkan dengan tindakan Kaum Wahabi yang tidak saja membunuh dan mengusir orang hidup tapi juga orang-orang yang sudah wafat juga ikut “dibunuh’!!!”

Berikut ini daftar makam dan tempat yang dihancurkan
Di antaranya adalah keluarga langsung Nabi Muhammad SAW: Seluruh istri Nabi yang disebut Ummul Mukminin termasuk Aisyah, Hafshah, Zainab, dan lain-lain terkecuali Khadijah binti Khuwailid dan Maimunah binti Al-Harits. Makam Fatimah Az-Zahra, putri Nabi yang tidak diketahui posisinya, begitu juga dengan Ruqayah putri Nabi yang lain.

-Pemakaman Al-Mualla di Mekkah termasuk pusara isteri tercinta Nabi, Sayidah Khadijah binti Khuwailid, Makam Ibunda Rasulullah Siti Aminah binti Wahhab, makam pamanda Rasul Abu Thalib (Ayahanda Ali bin Abu Thalib) dan makam kakek Nabi Abdul Muthalib

-Makam  Siti Hawa di Jedah

-Makam ayahanda Rasul Abdullah bin Abdul Muthalib di Madinah

-Rumah duka (Baitl Al-Ahzan) Sayidah Fatimah di Madinah

-Masjid Salman Al-Farisi di Madinah

-Masjid Raj’at Ash-Shams di Madinah

-Rumah Nabi di Madinah setelah hijrah dari Mekkah

-Rumah Imam Ja’far Ash-Shadiq (Imam Keenam) di Madinah

-Komplek (mahhalla) bani Hasyim di Madinah

-Rumah Imam Ali bin Abi Thalib, tempat Imam Hasan dan Imam Husein dilahirkan

-Makam Hamzah dan para syuhada Uhud di gunung Uhud

Kemudian Ibrahim, putra Nabi Muhammad dari Maryam Al-Qibthiah
Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW. 

Bibi dari Nabi Muhammad seperti Shafiah dan Atikah. 

Begitu juga dengan bibi Nabi Muhammad yang lain, Fatimah binti Asad, yang juga ibu dari Ali bin Abi Thalib. 

Dari keluarga Ahlul Bait: Hasan bin Ali, cucu Nabi, putri Fatimah dan Ali (Imam Kedua Ahlul Bait), Ali Zainal Abidin (Imam Keempat), Muhammad Al-Baqir (Imam Kelima), dan Ja’far Ash-Shadiq (Imam Keenam).


Diterjemahkan dari "HISTORY OF THE CEMETERY OF JANNAT AL-BAQI".
Catatan: Kerajaan Saud dan diamnya ulama Wahabi, lebih menghendaki dibangunnya jam raksasa di samping Ka’bah yang di bawahnya terdapat hotel mewah milik Barat, daripada harus membangun dan memperbaiki makam keluarga dan sahabat Nabi  SAW.

Sabtu, 28 Juli 2012

KENDURI ARWAH, TAHLILAN, YASINAN MENURUT PARA ULAMA. SESAT KAH???


Hal itu merupakan pendapat orang-orang yang kalap dan gerasa-gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yang mau bersedekah pada muslimin?Apalagi membahas ibadah yang benar-benar baik dan tidak mendatangkan mudharat (bahaya) ini.Ini dalil-dalilnya : 
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004).

Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah :
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu – tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah. Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka???

Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu.

Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.
1. Ucapan Imam Nawawi yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram).

Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram.

Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna.
Dalam istilah – istilah pada hukum syariah, sungguh satu kalimat menyimpan banyak makna, apalagi ucapan para Muhaddits dan para Imam, dan hal semacam ini sering tak difahami oleh mereka yang dangkal dalam pemahaman syariahnya.

3. Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy 
Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Gubernur menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, kebiasaan ini sering dilakukan dimasa jahiliyah jika ada yang wafat.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki 
Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dengan ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya. Orang – orang wahabi (gelar bagi penganut faham ibn abdul wahhab) menafsirkan kalimat “makruh” adalah hal yang dibenci, tentu mereka salah besar, karena Imam – Imam ini berbicara hukum syariah, bukan bicara dicintai atau dibenci, makna makruh berbeda secara bahasa dan secara syariah, maknanya secara bahasa adalah sesuatu yang dibenci, namun dalam syariah adalah hal yang jika dilakukan tidak dapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala. Namun mereka ini tidak bisa membedakan mana buku yang membahas masalah bahasa, mana buku yang membahas hukum syariah.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah 
Syaikh An-Nawawi Al-Bantani rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam – macam, hal ini makruh, (bukan haram).

Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu – tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiri pun maka tak ada pula yang memakruhkannya bahkan mendapat pahala jika dilakukan. Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram.. dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

Dan masa kini pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesusahan keluarga duka, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa-apa ..? Datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasiun luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???

Tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.Bahkan Rasul s.a.w memerintahkan diadakan makanan dirumah duka, sebagaimana hadits beliau saw ketika didatangkan kabar wafatnya Jakfar bin Abi Thalib : “Buatkan makanan untuk keluarga (alm) Jakfar, sungguh mereka sedang ditimpa hal – hal yang menyibukkan mereka” (Musnad Ahmad dll), hadits ini justru menunjukkan bahwa Rasul s.a.w memerintahkan sahabat membuat makanan untuk mereka. Kenapa? karena pasti banyak tamunya yang menyambanginya.

Mereka membalik makna hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini dalil bahwa keluarga mayyit tak boleh menyiapkan makanan, namun mereka lupa bahwa hadits ini justru perintah Rasul saw agar disiapkan makanan dirumah duka, karena beliau saw bukan mengatakan tidak boleh makan dirumah Jakfar, tapi justru buatkan makanan, dan perintahnya jamak, Ishna’uu.. yaitu : “wahai kalian (bukan untuk satu orang), ramai ramailah membuat makanan untuk keluarga Jakfar karena mereka sedang ditimpa hal yang menyibukkan mereka”. Apa? para tamu.

Didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, Hasan, Annafl, Sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).

Imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh.
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut WAHABI sangat jauh berbeda dengan BID’AH menurut Imam Nawawi, Imam Nawawi berpendapat bid’ah terbagi 5 bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 164-165).

Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi. Bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam bid’ah itu ada yang mubah dan yang makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yang haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.

Untuk ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah tercela yang makruh), karena Bid’ah tercela itu tidak semuanya haram. Sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan – hiasan warna – warni membentuk pemandangan atau istana – istana dan burung – burung misalnya, ini adalah bid’ah buruk (munkarah) yang makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun bid’ah buruk yang makruh, tidak haram, karena shalatnya tetap sah.

Hukum darimana makruh dibilang haram?, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Berkata Shohibul Mughniy :
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا ل إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)

Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu (Almughniy Juz 2 hal 215).
(disini hukumnya berubah, yang asalnya makruh, menjadi mubah bahkan hal yang mulia, karena tamu yang berdatangan dari jauh, maka jelaslah kita memahami bahwa pokok permasalahan adalah pada keluarga duka dan kebutuhan tamu)

Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, sebagian ulama mengharamkannya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu shohibulbait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
Baiklah jika sebagian saudara kita masih belum tenang, maka riwayat dibawah ini semoga dapat menenangkan mereka :

Dari Ahnaf bin Qeis ra berkata : “Ketika Umar ra ditusuk dan terluka parah, ia memerintahkan Shuhaib untuk membuat makanan untuk orang – orang” (Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar pada Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 No.709, dan ia berkata sanadnya Hasan)

Dari Thaawus ra : “Sungguh mayyit tersulitkan di kubur selama 7 hari, maka merupakan sebaiknya mereka memberi makan orang – orang selama hari hari itu” (Diriwayatkan Oleh Al Hafidh Imam Ibn Hajar pd Mathalibul ‘Aliyah Juz 1 hal 199 dan berkata sanadnya kuat).

Mengenai pengadaan makanan dan jamuan makanan pada rumah duka telah kuat dalilnya sebagaimana sabda Rasul saw : “Buatlah untuk keluarga Jakfar makanan sungguh mereka telah ditimpa hal yang membuat mereka sibuk” (diriwayatkan oleh Al Imam Tirmidziy No.998 dengan sanad hasan, dan di Shahihkan oleh Imam Hakim Juz 1/372)

Demikian pula riwayat shahih dibawah ini :
فلما احتضرعمر أمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثة أيام ، وأمر أن يجعل للناس طعام فيطعموا حتى يستخلفوا إنسانا ، فلما رجعوا من الجنازة جئ بالطعام ووضعت الموائد، فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه ، فقال العباس بن عبد المطلب : أيها الناس !، إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد مات فأكلنا بعده وشربنا ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا وإنه لابد من الاجل فكلوا من هذا الطعام ، ثم مد العباس يده فأكل ومد الناس أيديهم فأكلوا
Ketika Umar ra terluka sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan – hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib ra : Wahai hadirin.., sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar ra dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang mesti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau ra mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan.
(Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqatul Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110)


Kini saya ulas dengan kesimpulan :

1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak dengan masakan yang dibuat oleh keluarga mayyit hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits No.1322), bukankah wanita ini mengeluarkan uangnya untuk bersedekah..?

3. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh, atau kopi sederhana.

4. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan, dengan landasan sabda Rasul saw : “Buatlah makanan untuk keluarga Jakfar, sungguh mereka sedang dirundung kesedihan”

5. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkannya, bahkan sebagaimana riwayat yang telah saya sebutkan bahwa Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk menjamu tamunya jika ia wafat.

6. Boleh saja jika keluarga mayyit membeli makanan dari luar atau catering untuk menyambut tamu – tamu, karena pelarangan akan hal itulah yang akan menyusahkan keluarga mayyit, yaitu memasak dan merepotkan mereka.

7. Makruh jika membuat hidangan besar seperti hidangan pernikahan demi menyambut tamu dirumah duka.

Mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih 1.000 ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.Wallahu'alam bisshowab wal musta'an......

Selasa, 24 Juli 2012

WAHABI VS WAHABI (KAJIAN TAWASSUL)

Oleh : Sholeh Punya
Di antara yang sering dituduhkan kepada umat adalah syirik bertawasul, ini yang sering di lontarkan wahabi/salafi, benarkah tuduhan itu?
Mari Kita simak fatwa-fatwa dedengkot Wahabi Salafiy .... !!!

Ibnu Taimiyah Ulama Panutan Wahabi Salafiy
Membolehkan Tawasul

- Ibnu Taimiyah ditanya bolehkah bertawasul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menjawab:

أَمَّا التَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَاعَتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ وَبِدُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَفْعَالِ الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ . فَهُوَ مَشْرُوعٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَتَوَسَّلُونَ بِهِ فِي حَيَاتِهِ وَتَوَسَّلُوا بَعْدَ مَوْتِهِ بِالْعَبَّاسِ عَمِّهِ كَمَا كَانُوا يَتَوَسَّلُونَ بِهِ

“Ada pun bertawassul dengan beriman kepadanya (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam), mencintainya, mentaatinya, bershalawat dan salam atasnya, dengan doanya dan syafa’atnya dan yang lainnya, baik bertawassul dengan perbuatannya, dan perbuatan manusia yang diperintahkan sesuai haknya. Maka, itu adalah perbuatan yang disyariatkan sesuai kesepakatan kaum muslimin, dan para sahabat bertawassul dengannya pada masa hidupnya, dan bertawassul kepada Al Abbas, pamannya, setelah kematiannya, sebagaimana dahulu mereka bertawassul dengannya).”

(Majmu’ Al Fatawa, Juz. 1, Hal. 140)

- Ibnu Taimiyah meriwayatkan kisah Abdullah bin Umar ra yg sembuh dari lumpuhnya setelah ber-istighatsah dengan memanggil nama Nabi s.a.w. Dalam kitabnya "al-Kalimut-Thayyib", cetakan Darul-Qutub Ilmiah, Beirut 1417 H ; hal. 123, ia berkata :

عن الهيثم بن حنش قال: كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله فقال له رجل : اذكر أحب الناس إليك فقال : يا محمد فكأنما نشط من عقال

"Dari al-Haitsam bin Hanasy dia berkata :"Kami
sedang bersama Abdullah bin Umar ra, tatkala tiba-tiba kakinya mendadak lumpuh, maka seseorang menyarankan,"Sebutkan nama orang yg paling kamu cintai!" Maka Abdullah bin Umar berseru,"Ya, Muhammad." maka diapun seakan-akan terlepas dari ikatan (sembuh seketika)."

- Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad s.a.w tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad s.a.w dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:

أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه).

Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya) “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan bertwassul kepada-MU melalui Nabi-Mu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya’faat”. Tawassul seperti ini adalah bagus

(fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)
******************************
*******
Vs
**************************************

Muhammad bin Abdul Wahhab
قولهم في الاستسقاء: لا بأس بالتوسل بالصالحين، وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة، مع قولهم: إنه لا يستغاث بمخلوق، فالفرق ظاهر جدًا، وليس الكلام مما نحن فيه؛ فكون بعض يرخص بالتوسل بالصالحين وبعضهم يخصه بالنبي صلى الله عليه وسلم، وأكثر العلماء ينهى عن ذلك ويكرهه، فهذه المسألة من مسائل الفقه، ولو كان الصواب عندنا: قول الجمهور: إنه مكروه، فلا ننكر على من فعله؛ ولا إنكار في مسائل الاجتهاد، لكن إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح الشيخ عبد القادر أو غيره، يطلب فيه تفريج الكربات، وإغاثة اللهفات، وإعطاء الرغبات

“Pendapat mereka tentang masalah Istisqa’: tidak apa-apa bertawassul dengan orang-orang shalih. Pendapat Imam Ahmad: Bertawassul hanya khusus dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bersamaan ucapan mereka: tidak dibolehkan istighatsah (meminta pertolongan) dengan makhluk, dan perbedaannya sangat jelas (antara bertawassul dengan istighatsah, pen), dan ini bukanlah perkataan yang sedang kami bahas.

Kebanyakan Ulama melarang itu dan memakruhkannya, dan masalah ini termasuk permasalahan fiqih. Pendapat yang benar menurut pandangan saya adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa hal itu (tawassul dengan orang shalih) adalah makruh. Kami tidak mengingkari orang yang melakukannya, dan tidak ada pengingkaran dalam permasalahn ijtihad. Tetapi yang kami ingkari adalah orang-orang yang lebih mengagungkan permintaan kepada makhluk dibanding kepada Allah Ta’ala, bertadharru’ (merendahkan diri) kepada kuburan, seperti kuburan Syaikh Abdul Qadir Jaelani dan lainnya, berkeluh kesah atas kesulitan di kuburnya, meminta tolong atas rasa dukanya, dan meminta pemberian berbagai keinginannya.

(Fatawa wa Masail, Hal. 68-69, Mausu’ah Ibn Abdil Wahhab)
_______________________________________________________________________

Muhammad Nashiruddin Al-Albani

ومن هنا يتبين أن قول بعض الدعاة الإسلاميين اليوم في الأصل الخامس عشر من أصوله العشرين : ( والدعاء إذا قرن بالتوسل إلى الله بأحد من خلقه خلاف فرعي في كيفية الدعاء وليس من مسائل العقيدة ) ليس صحيحا على إطلاقه لما علمت أن في الواقع ما يشهد بأنه خلاف جوهري إذ فيه شرك صريح كما سبق. ولعل مثل هذا القول الذي يهون من أمر هذا الانحراف هو أحد الأسباب التي تدفع بالكثيرين إلى عدم البحث فيه وتحقيق الصواب في أمره مما يؤدي في نهاية المطاف إلى استمرار المبتدعين في بدعهم واستفحال خطرها بينهم

Dari sini (maka) jelaslah bahwasanya ucapan sebagian da'I islam pada hari ini yaitu (tepatnya) pada Ushul 15 dari Ushulnya yang 20: (dan do'a jika disertai dengan tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluknya adalah (termasuk) ke dalam khilaf furu'iyah didalam cara berdo'a dan bukanlah termasuk masalah aqidah) tidaklah benar secara mutlak karena telah diketahui pada kenyataannya (hal itu dapat) disaksikan sebagai (masalah yang termasuk) khilaf yang asasi karena didalamnya terdapat syirik yang jelas.

Barangkali ucapan ucapan yang meremehkan penyimpangan inilah sebagai salah satu sebab yang mendorong banyak orang orang menghilangkan pembahasan didalam (masalah ini) dan penelitian (masalah yang benar) tentangnya yang pada akhirnya mengakibatkan ahli bid'ah meneruskan bid'ah mereka dan meneruskan akibat buruk diantara mereka.

(At Tawassul, Anwa'uhu, wa Ahkamuhu (135). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Maktabah Syamilah)
_______________________________________________________________________

Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan wali, bahkan mereka mengatakan tawasul termasuk salah satu perbuatan syirik.

(Sholeh ibn Fauzan, at Tauhid, h.70 dan Abu Bakar Al Jazairi, Aqidah al Mukmin, h.144)

Dalam kitab Al Muntaqi Min Fatawa Al Fauzan Juz 8 Hal 2 Versi Syamilah Sholeh ibn Fauzan berkata :
Tawasul Adalah MUSYRIQ AKBAR dan barang siapa shalat di belakangnya (ma’mum) maka Shalatnya Tidak Sah

فالذي يتَّخذ التوسُّل بالصَّالحين أو الأولياء أو الأموات على ما اعتاده عبَّاد القبور اليوم، ويستعمل هذا، أو يدَّعي أنَّ هذا أمر جائز؛ فهذا لا تصحُّ الصلاة خلفه؛ لأنه مختلُّ العقيدة، وإذا كان يتوسَّل بالصَّالحين؛ بمعنى أنه يطلُبُ منهم الحوائج وتفريج الكربات وينادي بأسمائهم ويستغيث بهم؛ فهذا مشركٌ الشِّرك الأكبر المخرج من الملَّة؛ فليس بمسلم، فضلاً عن أن يتَّخذ إمامًا لمسجد

*************************
Lihatlah kekejian Fatwa Dedengkot Wahabi Satu Sama lain salim semprot bahkan sampai tahap pengkafiran

* Ibnu taimiyah Ulama’ panutan Wahabi “membolehkan Tawasul” beliau mengatakan " Tawasul Adalah perbuatan yang disyariatkan sesuai kesepakatan kaum muslimin tanpa membedakan apakah apakah Tawasul Nabi Saw Atau Para Auliya' masih hidup atau sudah meninggal...!!!

* Si Wahabi (( Muhammad bin Abdul Wahab , Al Bani , Sholeh Fauzan )) berkata: "Tawasul Adalah Musyriq “

Hadeeeeeeeeeeeeeeeh ...!!!

DALIL MENCIUM TANGAN ORANG SHALIH / ORANG TUA / PENGUASA MUSLIM YANG SHALIH

Oleh :  Chein Ahmad

Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat, yang akan kita sebutkan berikut ini.

Di antaranya, hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya. Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih#.

Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya”#.

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut#.

Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.

Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya”#.

Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:

وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”#.
Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut: “Tentang masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau berkata:

فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)

Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:

فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:

فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:

قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.
“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir)#.
Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ، وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.

Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.

Sedangkan hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)

berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.

Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits#.

Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.....

Sabtu, 21 Juli 2012

WAHABI VS WAHABI (KAJIAN RAKA'AT TARAWIH)

Oleh : Sholeh Punya

Ketika Rakaat Shalat Tarawih Di Permasalahkan !!!

Menjelang Ramadhan halaman-halaman internet dan blog dipenuhi dengan perdebatan-perdebatan seru dan sengit seputar jumlah rakaat shalat tarawih,
Baik dari kalangan aswaja maupun wahbi salafiy, Bahkan dari kalangan kaum kaku alias wahabi banyak tersirat fatwa-fatwa yang gak extrim terlebih saat berdiskusi, kaum kaku alias wahabi berasumsi bahwa pendapat yang benar adalah hanya 11 rakaat saja

Wow …!!!
Benarkah … ???


=> MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL BANI

Dalam kitabnya “shalat Al tarawih” 1/84

لا إجماع على العشرين :
لقد تبين لنا من التحقيق السابق أن كل ما روي عن الصحابة في أنهم صلوا التراويح عشرين ركعة لا يثبت منه شيء فما ادعاه البعض : " إن الصحابة أجمعوا على أن التراويح عشرون ركعة " مما لا يعول عليه لأنه بني على ضعيف وما بني على ضعيف فهو ضعيف

Tidak ada ijma’ yang menyatakan Shalat Tarawih 20 rakaat :
Sudah sangat jelas penjelasanku yang sudah lewat bahwasanya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat “mereka shalat tarawih 20 rakaat”, Itu adalah Dlaif, sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa “para shahabat ijma’ atas shalat tarawih 20 rakaat”, Ijma’ ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dhaif pula.

_________________________________________________________________________

=> MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN

Dalam Kitabnya Majmu’ Al Fatâwa wa Rosaail 14/132

وسئل فضيلته: هناك من يصلي مع الإمام إحدى عشرة ركعة ثم يفارقه بحجة أن الرسول صلى الله عليه وسلم، كان لا يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة؟
فأجاب فضيلة الشيخ بقوله: هذا الفعل وهو مفارقة الإمام الذي يصلي التراويح أكثر من إحدى عشرة ركعة خلاف السنة، وحرمان لما يرجى من الأجر والثواب، وخلاف ما كان عليه السلف الصالح وذلك أن الذين صلوا مع النبي صلى الله عليه وسلم، لم ينصرفوا قبله، وكان الصحابة - رضي الله عنهم - يوافقون إمامهم حتى فيما زاد على ما يرونه مشروعاً، فإن عثمان - رضي الله عنه - لما أتم الصلاة في منى أنكروا عليه، ولكن كانوا يتابعونه في الإتمام، ويقولون: إن الخلاف شر، وهو أيضاً حرمان لما يحصل من الثواب؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة".
والزيادة على إحدى عشرة ركعة ليست حراماً بل هي من الأمور الجائزة، ودليل ذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم سأله رجل عن صلاة الليل فقال: "مثنى، مثنى، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة فأوترت له ما قد صلى). ولم يحدد له النبي صلى الله عليه وسلم عدداً، ولو كانت الزيادة على إحدى عشرة ركعة حراماً لبين ذلك النبي صلى الله عليه وسلم، فنصيحتي لإخواني هؤلاء أن يتابعوا الإمام حتى ينصرف.

Muhammad Bin Sholih al Utsaimin : ditanya tentang jamaah yang sholat bersama Imam hanya 11 rokaat saja, kemudian memisahkan diri dengan alasan bahwasanya Rasulullah Shollallahu alaihi Wasallam tidak menambah dari 11 rokaat baik pada waktu ramadhan maupun selainya

Kemudian Muhammad Bin Sholih al Utsaimin jawab:

Perbuatan ini yaitu memisahkan diri dari Imam yang sholat taraweh lebih dari 11 Rokaat adalah menyalahi Sunnah dan menghilangkan pahala. Perbuatan ini juga menyalahi perbuatan Salafussholih. Para sahabat yang sholat bersama nabi shollallahu Alaihi Wasallam tidak meninggalkan jamaah lebih dahulu dan mereka menuruti Imam mereka sekalipun ia menambahkan dari apa yang menurut mereka disyariatkan. Sesungguhnya Shahabat Utsaman Radiyallahu anhu diingkari oleh para sahabat ketika ia melakukan Sholat secara sempurna di Mina, tetapi mereka tetap mengikutinya dan mereka berkata: Sesungguhnya khilaf itu adalah sebuah keburukan dan mencabut pahala yang diinginkan karena Nabi shallallahu alaihi Wasallam bersabda: Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk.

Menambah dari 11 rakaat bukanlah keharaman tapi suatu hal yang boleh. Hal itu karena Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang sholat malam, maka beliau bersabda:

مثنى، مثنى، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة فأوترت له ما قد صلى

Shalat malam itu Dua dua, kalau salah seorang diantara kalian khawatir datang shubuh maka sholatlah satu rakat yang menjadi witir bagi sholat yang telah ia kerjakan
Nabi Shallallahu alaihi Wasallam tidak membatasi bilangan rakaatnya. Kalaulah menambah dari sebelas rakaat adalah haram, niscaya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam akan menjelaskannya.
________________________________________________________________________

=> IBNU TAIMIYAH
Dalam Kitabnya Majmu’ Al Fatâwa, 22/272.

لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا . كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ

“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.

Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.

Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.

Dalam kitab yang sama juz 23 hal 112 Ibnu Taimiah juga mengatakan :


قَدْ ثَبَتَ أَنَّ أُبَي بْنِ كَعْبٍ، كَانَ يَقُومُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ وَيُوَتِّرُ بِثَلاَثٍ فَرَأَى كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ لأَنَّهُ قَامَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلاَنصَارِ وَلَمْ يُنكِرُهُ مُنكِرٌ.


“Telah thabit sesungguhnya Ubay ibn Ka’ab telah mendirikan (sholat Tarawih) bersama orang ramai sebanyak 20 rakaat pada bulan Ramadhan dan dia sholat Witir dengan 3 rakaat. Maka orang ramai melihat perbuatan itu adalah sebagai sunnah kerana bahawasanya dia mendirikannya di antara sahabat dari Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang menegahnya.”
_______________________________________________________________________________

=> ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XV/19

ومن تأمل سنته صلى الله عليه وسلم علم أن الأفضل في هذا كله هو صلاة إحدى عشرة ركعة، أو ثلاث عشرة ركعة، في رمضان وغيره؛ لكون ذلك هو الموافق لفعل النبي صلى الله عليه وسلم في غالب أحواله، ولأنه أرفق بالمصلين وأقرب إلى الخشوع والطمأنينة ، ومن زاد فلا حرج ولا كراهية كما سبق.

“Barangsiapa yang memikirkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dia akan tahu bahwa yang afdhal (lebih utama) dalam ini semua adalah shalat Tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat, baik dalam bulan Ramadhan maupun yang lainnya. Yang demikian karena itu sesuai dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebanyakan kondisi beliau, dan karena itu lebih meringankan bagi para jama’ah, serta lebih dekat kepada khusyu’ dan thuma’ninah. Namun barangsiapa yang menambah lebih dari itu maka tidak ada mengapa dan tidak dibenci sebagaimana telah lewat penjelasan (dalil-dalilnya.”

…. والثلاث والعشرون فعلها عمر رضي الله عنه والصحابة فليس فيها نقص وليس فيها إخلال بل هي من السنن- سنن الخلفاء الراشدين- ودل عليها حديث ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((صلاة الليل مثنى مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة توتر له ما قد صلى)) متفق عليه؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحد فيه عدداً معيناً بل قال: ((صلاة الليل مثنى مثنى)) الحديث. لكن إذا اقتصر الإمام في التراويح على إحدى عشرة أو ثلاث عشرة كان أفضل يسلم من كل ثنتين؛ لأن هذا هو الغالب من فعل النبي صلى الله عليه وسلم ولأن ذلك هو الأرفق بالناس في رمضان وفي غيره، ومن زاد أو نقص فلا حرج؛ لأن صلاة الليل موسع فيها، والله ولي التوفيق.

Shalat tarawih 23 rakaat pernah dilakukan oleh Umar Radhiallahu’anhu dan sahabat yang lain. Dan ini bukanlah keburukan, bukan pula kebid’ahan, bahkan shalat tarawih 23 rakaat adalah sunnah Khulafa Ar Rasyidin. Hal ini memiliki dalil dari hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datanya fajar maka shalatlah 1 rakaat agar jumlah rakaatnya ganjil” (Muttafaqun ‘ilaihi)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi rakaat shalat malam dengan batasan jumlah tertentu, namun yang beliau katakan:
“Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat”
Namun memang lebih afdhal jika imam mengerjakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat atau 13 rakaat dengan salam setiap 2 rakaat. Karena inilah yang paling sering dipraktekan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada shalat malamnya. Alasan lain, karena shalat tarawih 11 atau 13 rakaat lebih sesuai dengan kondisi kebanyakan orang (tidak terlalu berat, pent) di bulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan. Namun bila ada yang melakukannya lebih dari itu, atau kurang dari itu, tidak masalah. Karena perkara rakaat tarawih adalah perkara yang longgar”.

(http://www.ibnbaz.org.sa/mat/
1028)

=========================================================================
Lagi-lagi dedengkot wahabi salafiy Saling semprot !!!

Apa kata Duniaaaaaaaaaaaaa ???!!!

WAHABI MEREKAYASA KITAB

Oleh : Dean Sasmita

Dakwah Salafy Wahaby walaupun kita sering bertanya, Kenapa Marah Di Sebut Wahaby ? yang sulit di terima oleh dunia Islam, kecuali hanya sebagian kecil orang awam, sehingga menghalalkan segala cara demi sebuah faham yang mereka anggap benar, dakwahnya yang lebih pantas di sebut dengan fitnah terhadap Islam, Al-Quran, Hadits dan para Ulama Islam.

Karena setiap sisi syari’at Islam yang tidak sepaham dengan pemahaman mereka selalu ada cerita dusta dan fitnah terhadap Ulama, baik Salaf atau Khalaf, ketidaksiapan mereka dalam menyikapi perbedaan atau dengan kata yang lebih jelas WAHABY / SALAFY TIDAK MAMPU MENERIMA PERBEDAAN dan tidak cukupnya pendukung dakwah mereka, hingga memaksa mereka memutarbalikkan fakta dengan cerita dusta terhadap para pakar Ulama Islam separti Imam Mazhab empat, Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani, Ibnu Katsir, Imam Baihaqqi, Imam Asy’ari, Imam Nawawi, Ibnu Hajar al-Ashqalani, Shalahuddin al-Ayyubi dan masih banyak lagi, semoga Allah selalu menjaga Para Ulama Islam dari bermacam fitnah Wahaby.

Adapun yang ingin kami sampaikan di sini adalah cerita dusta terhadap Imam Nawawi yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marri asy-Syafi’i al-Asy’ari an-Nawawi, ada dua fitnah Wahabi terhadap Imam Nawawi yang saling bertolak-belakang, yaitu tuduhan sesat dan tuduhan taubat. Dan sudah banyak yang  Membongkar Kitab Rekayasa Wahabi Yang Dinisbahkan Kepada Imam Nawawi Pengarang Kitab Riyadhus Shalihin ini.

1. Tuduhan sesat yang masyhur adalah mengenai kitab adzkar, dan tuduhan yang dilakukan oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab nya Liqa’ al-Bab al-Maftuh bahwa Imam Nawawi bukan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tuduhan ini memang sudah lumrah, karena setiap yang tidak sama dengan mereka pasti dituduh sesat, lebih lagi karena Imam Nawawi adalah seorang Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari, fitnah ini telah dilemparkan oleh Wahabi terhadap semua Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari atau Maturidi, semua di cap sebagai ahlu bid’ah sesat, semoga Allah menolong semua penolong Islam.

2. Tuduhan bahwa Imam Nawawi telah bertaubat dari aqidah Asy’ari ke aqidah Salafy Wahaby, bukan Salafy murni, karena tidak ada takfiri antara Salaf dan Khalaf, fitnah ini bersumber dari sebuah rekayasa pembenci Imam Nawawi lewat lembaran-lembaran kitab rekayasa yang dinisbahkan kepada Imam Nawawi yang katanya “beliau sempat bertaubat dari aqidah Asy’ari dan kembali ke aqidah Salaf kira-kira dua bulan sebelum beliau wafat, dan sempat menulis kitab tentang aqidah Ulama Salaf serta mencela Asya’irah.

Akan tetapi kitabnya hilang dan yang tersisa hanya satu Juzuk/Jilid yang membahas tentang -KALAMULLAH HURUF dan SUARA-” sehingga jilid itu disebut “جزء الحروف والأصوات” -JUZK HURUF WAL ASHWAT- atau -JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT- atau جزء فيه ذكر اعتقاد السلف في الحروف و الأصوات -JUZK FI HI DZIKRU I’TIQAD SALAF FIL HURUF WAL ASHWAT- dan kitab rekayasa itu di tahqik oleh pentahkiq Wahabi yaitu Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, agar penyamaran itu sempurna dan terkesan benar adanya, serta menumbuhkan keragu-raguan pada pengikut Ahlu Sunnah Waljama’ah yang beraqidah Asy’ari, Na’uzubillah min dzalik.


SEKILAS TENTANG KITAB REKAYASA [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT] YANG DINISBAHKAN KEPADA IMAM NAWAWI 

Kitab rekayasa tersebut dibuat seolah-olah Imam Nawawi menulis ringkasan [ikhtishar] dari dua kitab berbeda yakni kitab GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM ” غاية المرام في مسألة الكلام” katanya itu kitab Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan dari kitabnya Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-TIBYAN FI ADABI HAMLATIL QURAN “التبيان في آداب حملة القرآن” sehinggah kitab kebohongan itu terdiri dari dua bagian, dan insyaallah akan kami jelaskan nanti mana yang dari kitab GHAYATUL MARAM dan mana yang dari at-TIBYAN.
Kitab kebohongan tersebut terdiri dari Muqaddimah dan 18 [delapan belas] pasal, yaitu:
  1. PASAL: Tentang huruf dan apakah ia qadim atau hadits.
  2. PASAL: Tentang Kalam Allah.
  3. PASAL: Tentang itsbat harf bagi Allah ta’ala.
  4. PASAL: Tentang itsbat suara bagi Allah ta’ala.
  5. PASAL: Tentang bahwa qiraah itu dibacakan dan bahwa kitabah itu dituliskan.
  6. PASAL: Tentang bahwa Kalam Allah itu didengarkan.
  7. PASAL: Tentang Hadits-hadits yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu didengarkan.
  8. PASAL: Tentang wajib hormati Al-Quran.
  9. PASAL: Tentang haram Tafsir Al-Quran tanpa ilmu.
  10. PASAL: Tentang haram ragu dan jidal pada Al-Quran dengan cara yang tidak benar.
  11. PASAL: Tentang tidak dilarang kafir mendengar Al-Quran dan dilarang menyentuhnya.
  12. PASAL: Tentang menulis Al-Quran pada bejana lalu disirami air dan diberikan ke orang sakit.
  13. PASAL: Tentang menghias dinding dan pintu dengan Al-Quran.
  14. PASAL: Tentang sunnah menulis mushaf.
  15. PASAL: Tentang tidak boleh menulis Al-Quran dengan najis.
  16. PASAL: Tentang wajib menjaga mushaf dan menghormatinya.
  17. PASAL: Tentang haram terhadap orang berhadats menyentuh mushaf dan membawanya.
  18. PASAL: Tentang melarang anak-anak dan orang gila membawa mushaf.
Dari dua bagian kitab rekayasa ini disebutkan bahwa bagian pertama yaitu tujuh Pasal awal mulai dari [PASAL: Tentang huruf dan apakah ia qadim atau hadits.] sampai akhir [PASAL: Tentang Hadits-hadits yang menguatkan bahwa Kalam Allah itu didengarkan.] itu diringkas dari kitab GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM karya Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i, dan bagian kedua yaitu sebelas Pasal selanjutnya mulai dari [PASAL: Tentang wajib hormati Al-Quran.] sampai akhir [PASAL: Tentang melarang anak-anak dan orang gila membawa mushaf.] itu ringkasan dari kitab Imam Nawawi sendiri yakni kitab at-TIBYAN FI ADABI HAMLATIL QURAN.

Skenario yang hampir bisa dibilang sempurna, mencampurkan yang haq dengan yang batil, agar yang batil sekilas terlihat haq, tapi Allah akan selalu menolong para penolong Agama, cepat atau lambat rekayasa, fitnah dan cerita dusta itu pasti akan nampak juga pada waktunya.Insyaallah

ALASAN MENOLAK DINISBAHKAN KITAB REKAYASA [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT] TERSEBUT KEPADA IMAM NAWAWI

1. Bahwa Syaikh Fakhruddin Abu Abbas Ahmad Ibn Hasan Ibn Utsman al-Armawi asy-Syafi’i ini orang tidak dikenal [OTK] bahkan tidak pernah ada sama sekali dalam jajaran Ulama Syafi’iyyah dalam kitab mana pun, bahkan lagi pentahqik kitab itu pun tidak kenal dengan Abu Abbas al-Armawi ini, tidak mungkin orang yang dipuji setinggi langit oleh Imam Nawawi dalam kitab itu tidak tercatat dalam sejarah, apalagi dalam peristiwa sebesar ini [seandainya itu benar adanya], tapi jangankan kehidupannya, kuburnya pun tidak ada, benar-benar ini tokoh fiktif belaka.

2. Bahwa kitab rekayasa GHAYATUL MARAM FI MAS-ALATIL KALAM karya Abu Abbas al-Armawi tersebut tidak pernah ada sama sekali, karena orang nya memang tidak pernah ada, bagaimana mungkin Imam Nawawi meringkas kitab yang tidak pernah ada itu.

3. Bahwa Imam Nawawi tidak punya guru yang bernama Abu Abbas al-Armawi, bahkan dalam kitab rekayasa itu sendiri, pentahqik lupa menambah Abu Abbas al-Armawi dalam jajaran guru Imam Nawawi.

4. Bahwa aqidah Ulama salaf bukan seperti tersebut dalam kitab rekayasa itu, tapi Tafwidh ma’at Tanzih atau Takwil Ijmali tanpa Takyif, Tasybih dan Ta’thil, itu Manhaj Taymiyyin yang belum ada masa Imam Nawawi.

5. Bahwa dalam kitab Biografi Imam Nawawi tidak pernah ada sejarah bahwa Imam Nawawi pernah menulis kitab rekayasa tersebut yakni [JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT].

6. Bahwa tidak disebutkan siapa penemu kitab rekayasa itu dan kapan ditemukannya, tidak ada murid atau keluarga atau Ulama semasa Imam Nawawi yang tau adanya kitab itu, dan baru ketahuan setelah ratusan/ribuan tahun kemudian saat kitab itu ada ditangan pentahqik Wahabi yakni Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, dan kemungkinan besar inilah biang fitnah ini.

7. Bahwa banyak pembesar Wahabi juga tidak percaya dengan keberadaan kitab rekayasa itu, hingga Imam Nawawi di cap sesat karena beliau seorang Sufi beraqidah Asy’ari.

8. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus “penemu” kitab rekayasa  itu adalah pembenci Imam Nawawi dan anti Sufi juga anti Asy’ari.

9. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati adalah orang pikun hingga nampak kedustaannya yaitu salah menetapkan tanggal dalam kitab rekayasa itu, dalam Muqaddimah ia sebutkan bahwa kitab itu selesai ditulis oleh Imam Nawawi pada Kamis 3 Rabiul Akhir 676 H [في الخميس الثالث من شهر ربيع الآخر سنة 676 هـ] tapi pada akhir kitab ia sebutkan kitab itu selesai pada Kamis 3 Rabiul Awwal 676 H [الخميس الثالث من شهر ربيع الأول سنة ست وسبعين وستمائة.]

10. Bahwa Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati juga melakukan kesalahan ketika mentahqik mengubah ibarat dari dasar nya (فرغنا منه صبيحة الخميس) menjadi (فرغنا من نسخه الخميس).

Sudah cukup alasan untuk tidak menerima penisbahan kitab rekayasa tersebut kepada Imam Nawawi, tapi lebih layak kitab itu dinisbahkan kepada Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati selaku pentahqik sekaligus “penemu” kitab itu.

Semua fitnah Wahabi yang timbul di setiap masa pasti telah dijawab oleh Ulama pada masa itu, karena memang sudah menjadi kewajiban atas Ulama untuk terus menjaga kemurnian Islam, dan kemuliaan Ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah, apalagi yang dicela oleh Wahabi adalah Ulama sekelas Imam Nawawi, seorang pendekar Madzhab Syafi’i, kasus dan modus seperti ini bukan pertama kali terjadi tapi sudah terjadi sebelumnya dan akan terjadi setelahnya juga.
Semoga Allah selalu menjaga kemurnian Islam dan para pejuang Islam dari fitnah berkedok Islam.

Hasbunallah wa ni’mal wakil....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...