English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ Belajar Dan Berbagi Ilmu Serta Nasehat Untuk Mempererat Ukhuwah Islamiyah
free counters

Sabtu, 31 Desember 2011

4 HAL YANG MEMBUAT KITA MALAS DAN TIDAK MAU BERIBADAH KEPADA ALLAH SWT

Allah SWT berfirman dalam surat Adz Dzaariyat ayat 56 yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku“. Ayat ini secara jelas menerangkan kepada kita bahwa jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT hanya untuk beribadah kepada-Nya. Siapapun kita, apapun tugas kita dan apapun yang kita sandang, tugas kita satu-satunya menjadikan itu semua bernilai di sisi Allah selama 24 jam sehari semalam.

Persoalannya adalah kenapa masih ada umat yang mengaku Islam malas untuk beribadah dan tidak mau beribadah? Jawaban dasarnya adalah karena mereka merasakan ibadah itu adalah satu kewajiban, satu beban dan belum mampu untuk menikmati hakikat ibadah itu sendiri.

Ada 4 hal yang mengakibatkan orang malas dan tidak mau melakukan ibadah yaitu :

1. BELUM MENDAPATKAN HIDAYAH DARI ALLAH SWT. 
Hidayah memang otoritas Allah SWT, kita mengetahui dalam sejarah bahwa perjuangan Rasululllah saw. mendakwahkan Islam selalu mendapat tantangan dan ancaman dari pihak kaum qurais Makkah. Paman beliau sendiri yaitu Abu Thalib yang senantiasa selalu melindungi memback up sampai saat-saat akhir hayat beliau belum mengucapkan 2 kalimat syahadat. Karena itu ketika ajal akan menjemput Abu Thalib, Rasulullah saw. berupaya keras untuk membujuk pamannya mau mengucapkan kalimat syahadat Nabi Muhammad Saw berkeinginan dan kita semua mempunyai kehendak, namun Allah-lah yang dapat memberikan petunjuk kepada setiap orang yang dikehendakinya (Allahu yahdi man-yasha) Abu Thalib wafat belum sempat mengucapkan 2 kalimat syahadat. Nabi Muhammad saw. sangat sedih dan kecewa karena orang yang paling dia sayangi yang membela perjuangan dan usaha Rasulullah saw. dalam mendakwahkan ajaran Islam tidak mendapatkan hidayah dari Allah SWT.

Kemudian turunlah ayat yang menegaskan “Sesungguhnya wahai Muhammad bukan engkau yang berhak memberikan hidayah tetapi Aku yang memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia Kehendaki“, namun demikian bukan berarti kita menjadi pasif. Hidayah harus diusahakan secara aktif minimal kita siapkan diri kita, kita siapkan keluarga kita dan kita siapkan lingkungan kita agar mampu menerima hidayah. Bukankah kita yang melakukan shalat yang secara baik sudah mendapatkan sebagian dari hidayah, demikian banyak orang yang mengaku Islam tapi tidak menjalankan shalat. Dalam sholat kita diwajibkan membaca surat Al Fatihah setiap rakaat “Ihdinash shiraathal mustaqiim - Tunjukilah kami hidayah dan jalan yang lurus“.

Sebagai satu ilustrasi dalam Masjid ini memiliki penerangan dari listrik yang tentunya arus didapat dari PLN. PLN tidak akan bisa menyambungkan arusnya ke bangunan masjid, kalau instalasi listriknya belum ada untuk menerima arus, seandainya-pun sudah siap tidak serta-merta ketika diminta arus langsung tersambung. Demikian juga pada diri kita, harus disiapkan untuk mampu menerima hidayah dari Allah SWT.

Dalam ajaran Islam disebutkan “Suruhlah anak kalian sholat ketika umur tujuh tahun dan pukullah apabila tidak mau mengerjakannya ketika berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka“. Bukankah mereka belum baligh atau belum berakal, ini merupakan bagian dari upaya untuk menyiapkan diri anak-anak kita menerima hidayah dan siap menerima hidayah ketika Usianya baligh.

Para ulama mengatakan sering-seringlah mendengar yang baik, bergaullah dengan orang yang baik dan berbicaralah dengan cara baik-baik insya Allah kondisi siap untuk menerima hidayah telah kita dapatkan dan ketika hidayah itu datang maka hidayah itu begitu halus dan mudah masuk datang pada diri kita dan akhirnya kita mampu menikmati ibadah.

2. TIDAK MAMPU MENGENDALIKAN HAWA NAFSU. 
Memang dalam surat Yusuf ayat 53 menjelaskan bahwa “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu berpotensi kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. 

Dalam ajaran Islam nafsu tersebut tidak boleh dibunuh dan dihancurkan tetapi nafsu harus dikelola dengan baik, karena itulah salah satu sebabnya kenapa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini, kita bukan Malaikat karena hidup kita butuh dengan nafsu tetapi jangan memperturutkan hawa nafsu.
Jika diibaratkan nafsu itu adalah anak kecil, ingin memiliki suatu mainan bila orang tuanya membelikan satu mainan dia pasti minta dua mainan, jika dibelikan 2 kemudian dia meminta 3 dan kalau diperbolehkan semua mainan ingin menjadi miliknya dan bukan milik orang lain itulah hawa nafsu.

Salah satu pembelajaran pengendalian nafsu, Allah SWT berikan minimal sekali dalam setahun untuk beribadah puasa Ramadhan. Mencoba mengendalikan hawa nafsu terutama hawa nafsu perut dan hawa nafsu sex, karena kedua hal inilah yang sering menjerumuskan komunitas manusia ke jurang kehancuran. Itulah sebabnya di dalam kajian tasawuf ada yang disebut dengan pekerjaan yang berupaya mengendalikan nafsu dan nafsu itu bukan untuk dibunuh akan tetapi nafsu itu dikendalikan sampai bisa mendapatkan nilai ibadah di dalam menyalurkannya.

Menikah itu bagian dari pada ibadah kita kepada Allah dan cara menyalurkan nafsu dengan baik, bukankah makan dan minum bisa bernilai ibadah jika kita lakukan dengan cara mengkonsumsi yang halal dan thayib yang selalu diiringi ucapan basmalah dan diakhiri dengan acaan hamdalah.

3. KETIDAKMAMPUAN MELAWAN GODAAN SYETAN.
Syetan adalah musuh laten dan musuh abadi bagi umat manusia sejak kakek-nenek kita nabi Adam dan Hawa yang dikeluarkan dari surga, karena terpedaya oleh godaan syetan.

Ketika itu dimaklumkan “innahu lakum ‘adhuwum mubin - sesungguhnya Iblis dan anak buahnya adalah musuh yang nyata bagi kalian Wahai manusia“. Tetapi secanggih apapun peralatan dan perlengkapan persenjataan sebaik apapun latihan yang dilakukan, logistik yang cukup dalam menghadapi musuh disuatu pertempuran belum ada jaminan untuk menang, bahkan para ahli strategi pertempuran mengatakan mengenal kekuatan dan kelemahan musuh sebagian dari pada kemenangan. Sudahkah kita mengetahui kelebihan dan kelemahan para iblis dan bala tentaranya?

Pada waktu itu Allah SWT memerintahkan iblis untuk menghadap kepada Rasulullah SAW ketika mengadakan suatu pengajian iblis datang bertamu dan sebelum dipersilahkan, nabi bertanya siapa yang di luar, kemudian yang di luar itu menjawab “saya iblis”. Para sahabat antara percaya dan tidak nabi katakan bukalah pintu itu, kemudian masuklah satu makhluk yang kepalanya lebih besar dari seluruh tubuhnya. Kepalanya tidak memiliki rambut, matanya keluar dan sahabat memberikan komentar yang singkat “makhluk yang menakutkan dan sekaligus menjijikan”.

Kemudian nabi Muhammad SAW bertanya kepada iblis, “kenapa engkau datang kepadaku ?” Iblis menjawab, “inilah kali pertama aku mengikuti perintah Allah setelah aku terusir karena kakek-nenekmu Adam dan Hawa. Aku akan menjawab semua apapun yang engkau tanyakan”. Nabi secara pribadi langsung bertanya, “siapakah orang yang paling engkau benci di dunia ini ?”, kemudian iblis menjawab dengan pasti, “engkaulah ya Muhammad, karena engkau aku kesulitan untuk mencari teman dan mencari kawan yang akan menemani saya di dalam neraka”. Kemudian nabi bertanya, “suara apa yang engkau takuti hai iblis ?”“Suara yang aku takuti adalah suara adzan”, ketika adzan berkumandang iblis terpelanting dan terlempar sejauh adzan itu terdengar sampai iblis buang angin, akan tetapi ketika adzan selesai iblis datang kembali untuk menggoda orang yang sedang melakukan sholat. Kemudian nabi bertanya kembali kepada iblis, “Suara apa yang engkau senangi?” Iblis menjawab, “suara musik yang melupakan orang untuk melakukan ibadah”.

4. KETERBATASAN ILMU.
Kebodohan dan keterbatasan kita terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, kita menganggap itu menjadi satu beban dan menganggap itu suatu penghalang dari kenikmatan maka kita tidak mau melakukan. Belajar tidak pernah henti, Imam Syafi'i mengatakan “orang yang masih beryawa tetapi berhenti untuk menuntut ilmu ia bagaikan bangkai yang berjalan di atas bumi“.

Jika kita mampu mengupayakan diri kita siap dan mampu memelihara ibadah, mengendalikan hawa nafsu pada tempat yang sebenarnya dan mampu untuk melawan godaan syetan dan terus berupaya menambah ilmu pengetahuan, maka ibadah sudah tidak lagi menjadi beban, ibadah bukan sekedar kewajiban tetapi ibadah itu merupakan suatu kenikmatan dan kebutuhan.

Ibadah yang selama ini sering kita dengar baru ibadah haji yang dirasakan mendapatkan kenikmatan, belum pulang dari Makkah dan Madinah sudah berniat tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya bisa ibadah haji kembali, dia bukan lagi merasakan kehilangan uang untuk ongkos haji, bukan lagi merasakan kehilangan kesempatan untuk meniti kariernya, bukan kehilangan kesempatan mencintai orang-orang yang dekat dengan dia, tetapi sudah merasakan nikmatnya ibadah.

Untuk itu mari kita kenali diri kita, kita kenali musuh kita dan kita persiapkan untuk mendapatkan hidayah belajar terus menerus dan mendapatkan kenikmatan dalam ibadah kepada Allah SWT Aaamiin Allaahumma Aamiin.........

MENGAPA HARUS ADA PENGORBANAN

Dalam jiwa kita mungkin tersimpan satu pertanyaan; “Mengapa Sungai sejarah kemanusian selalu harus dialiri oleh darah dan air mata? Mengapa kita harus selalu berkorban? Tidak bisakah Allah menjadikan hidup ini tenangdimana manusia hanya menyembah-Nya, dimana manusia hanya punya satu agama, dimana manusia dimana manusia tidak berbeda dalam pikiran, jiwa dan watak, dimana dunia ini menjelma taman kehidupan yang indah?”

Allah mengetahui dengan baik bahwa setiap manusia menyimpan pertanyaan itu dalam batinnya. Sama seperti Allah juga mengetahui bahwa Ia bisa melakukan semua itu, Ia bisa membuat manusia hidup damai dengan hanya satu agama, Tanpa pertentangan diantara mereka, tanpa konflik, tanpa darah dan air mata, dimana hanya ada kegembiraan, dimana hanya ada cinta, dimana hanya ada lagu-lagu kehidupan yang indah. Maka perhatikanlah Allah telah berfirman;

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),..(QS. Al-Maidah : 48).

Begitulah akhirnya Allah mempertemukan kita dengan hakikat ini, yaitu hakikat bahwa hidup sepenuhnya hanyalah ujian semata dari Allah, dan bahwa hanya ada satu kata kunci dalam setiap ujian, duri-duri di sepanjang jalan kehidupan ini harus dilalui dengan penuh pertanggungjawaban. Simaklah firman Allah;

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk : 2,).

Tapi masih ada satu hakikat lain lagi yang membuat ujian kehidupan menjadi semakin berat dan rumit. Hakikat itu adalah ini, Allah ternyata tidak menurunkan Adam dan Hawa sendiri ke bumi. Allah menurunkan mereka berdua bersama Iblis yang akan menyesatkan Adam beserta segenap anak cucunya hingga hari kiamat dari jalan kebenaran. Selain Iblis yang ada di luar diri kita, di dalam diri kita sendiri juga terdapat unsur syetan yang menjadi pusat pendorong kepada perbuatan jahat.

Maka hakikat ini telah menjadikan panorama kehidupan kita akan senantiasa dipenuhi konflik antara kebaikan dan kejahatan, antara kebenaran dan kebatilan, antara tentara Iblis dan tentara Allah. Di sini tidak ada pilihan untuk tidak memihak. Dan karenanya setiap orang pasti harus berkorban, sebab setiap orang pasti terlibat dalam pertarungan abadi ini. Kalau seseorang tidak berada dalam kubu kebenaran, pastilah dia berada dalam kubu kebatilan. Dan tidak ada kubu pertengahan.

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ 
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. (‘QS. Al-Baqoroh : 36)

Demikianlah kedua hakikat tersebut menjadikan pengorbanan sebagai keniscayaan hidup. Dan hanya ada satu hal yang kelak akan memutus siklus pengorbanan yang begitu melelahkan manusia ini, yaitu kematian! Ya... hanya itu yang akan membebaskan kita dan pengorbanan.

Kalau pengorbanan telah melekat begitu kuat dalam tabiat kehidupan, maka begitulah pengorbanan menjadi wajah abadi bagi iman. Sebab Allah hendak memenangkan agama-Nya di muka bumi dengan usaha-usaha manusia yang maksimal. Marilah kita menyimak diaolog antara Saad Bin Abi Waqqas dengan Rasulullah saw berikut ini :
Dan Saad bin Abi Waqqasis berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah yang mendapat cobaan paling berat?” Rosulullah menjawab; “Para Nabi, lalu yang paling menyamai (kualitas) nabi. Dan seseorang akan diuji dengan sesuai dengan kemampuannya. Jika di dalam keagamaan terdapat kekuatan, maka cobaannya akan semakin keras. Dan Jika ada kelelamahan dalan agamannya, ia hanya akan diuji sesuai dengan kadar keagamaannya itu. Maka cobaan tidak akan pernah meninggalkan seorang hamba, hingga ia membiarkan hamba itu berjalan di muka bumi tanpa sedikitpun dosa.”HR Ibnu Najah dari Saad bin Abi Waqqas; sebagaian maknanya terdapat juga dalam shahih Bukhari dan Muslim)

Pengorbanan menjadi harga mati bagi iman, dimana geliat imanmu hanya akan terlihat pada sebanyak apa engkau berkorban, pada sebanyak apa engkau memberi, pada sebanyak engkau lelah, pada sebanyak apa engkau menangis, dan puncak dari segalanya adalah saat dimana engkau menyerahkan harta dan jiwamu sebagai persembahan total kepada Allah SWT. Maka bertanyalah kepada diri sendiri, sudah berapa banyak yang engkau berikan? Sudah berapa banyak engkau meneteskan air mata?, Sudah berapa banyak engkau lelah?, Sudah berapa banyak?, Sudah berapa?, Sudah berapa banyak?

Pengorbanan menjadi harga mati bagi kemenangan. Setiap mimpi kemenangan dan kejayaan selalu diawali dengan kisah panjang pengorbanan. Maka Nabi lbrahim  as dinobatkan sebagai pemimpin umat manusia setelah Ia menyelesaikan kisah pengorbanannya yang begitu panjang dan begitu mengharu biru. Dan Rasulullah SAW mencapai kemenangan akhirnya setelah melalui masa-masa pengorbanan yang penuh darah dan air mata.

Jalan Kembali Itu Hanya Ada Di Sini

Para nabi dan sahabat-sahabatnya telah menggariskan jalan kemenangan itu bagi kita; bahwa harga yang harus dibayar untuk itu adalah pengorbanan. Dan kita, kaum muslimin, yang kini terpuruk dalam semua bidang kehidupan, kalah dalam semua medan tempur, dan harus rela untuk hanya berada di pinggiran sejarah, harus benar-benar menyimak pelajaran itu dengan baik. Sebab Imam Malik mengatakan;

“Generasi terakhir umat tidak akan menjadi baik kecuali hanya dengan dengan apa yang telah menjadikan generasi pertama menjadi baik.

Seorang sastrawan Muslim, Musthafa Shadiq AI-Rafi’i mengatakan; Sesungguhnya kemenangan dalam pertarungan hidup tidaklah diperoleh dengan harta, kekayaan dan, kesenangan, tapi dari perjuangan keras, ketegaran dan kesabaran. Dan bahwa kemajuan manusia tidaklah diperjualbelikan begitu saja atau diberikan secara gratis, tapi sesuatu yang kita cabut dengan paksa dari peristiwa-peristiwa kehidupan dengan kekuatan karakter yang dapat mengalahkan krisis dan tiadak dimatikan oleh krisis.  

Inilah jalan kembali itu; saat dimana cita-cita menuju ketinggian menguasai segenap pikiran dan jiwamu; saat dimana engkau melepaskan ikatan jiwamu dengan dunia dan engkau mulai terbang ke angkasa yang luas; saat dimana engkau menemukan sang iman telah memberimu gelora kekuatan jiwa yang dahsyat; maka engkau mulai bergerak bersama agama ini dan untuk agama ini; maka engkau duduk termenung Iama untuk melahirkan gagasan besar demi agama ini, maka engkau marah dan sedih dan benci dan gembira hanya karena dan untuk agama ini; maka tak ada satu detik pun dari waktumu yang berlalu begitu saja tanpa engkau gunakan untuk agama ini; maka semua harta yang engkau peroleh dan bekerja dan berdagang atau Iainnya tak engkau gunakan kecuali hanya untuk agama ini; maka engkau terus bekerja, memberi dan memeras seluruh tenaga fisikmu untuk agama ini. Itulah manusia-manusia yang dibutuhkan Islam saat ini. 

Manusia-manusia yang memiliki semua syarat untuk menciptakan peristiwa dan mengukir sejarahnya dengan tangannya sendiri; visi keislaman yang dapat menyinari kehidupan, tekad yang selalu dapat mengalahkan semua krisis, akhlak yang selalu dapat mengalahkan godaan. Dan manusia-manusia besar selalu hadir di tengah krisis, dan setiap krisis besar dalam sejarah sebuah masyarakat atau bangsa, pada mulanya selalu diselesaikan oleh sentuhan tangan dingin manusia-manusia besar itu. Dan begitulah pengorbanan menjadi bibit kebesaran orang-orang Muslim.

Maka berjanjilah kepada dirimu untuk melakukan itu. Buatlah perjanjian sekali Iagi dengan Allah "Bahwa segenap hidup dan matimu, segenap jiwa dan pikiranmu, segenap harta dan waktumu, telah engkau jual kepada Allah SWT yang akan dibayarnya – kelak- dengan surga".

إن اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah : 111).

7 CARA AGAR TERHINDAR DARI PERPECAHAN DI ANTARA SESAMA MUKMIN


1. Tabayyun
Tabayyun berarti mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran informasi yang diterima. Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS Al Hujurat :6)
Jadi jangan taqlid buta terhadap web-web, situs-situs ataupun blog-blog  perusak ukhuwah dan aqidah yang sekarang banyak beredar di internet. Ciri-ciri web yang saya maksud adalah menolak adanya bid’ah hasanah, karena tidak paham akan ta’rif bid’ah yang sebenarnya, juga yang merusak ukhuwah dengan menyesatkan  amalan baik kaum muslim, seperti peringatan Maulid, yang merupakan pengamalan firman Allah QS. Al-Ahzab ayat 56 karena di dalam peringatan itu pasti banyak membaca sholawat. Dan peringatan Maulid ini bid’ah hasanah dan berpahala berdasar keterangan ulama’-ulama' ahlussunnah seperti Imam Suyuthi, Ibnu Taimiyah dan Syekh Alwi al-Idrus al-Maliki

2. 'Adamus Sukhriyyah
Artinya tidak memperolok-olokkan orang atau kelompok lain. Firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan)." (QS Al Hujurat :11)
Ini yang agak sulit,karena jujur ana sendiri saat diolok-olok atau difitnah,kadang emosi dan tidak bisa berpikir jernih sehingga ana balas mengolok-olok,maka jadi sama saja kan. Sama-sama suka memperolok-olokkan orang atau kelompok lain. Sebagai orang beriman hendaknya bila kita diolok-olok atau difitnah kembalikan pada Allah SWT.

Karena hakikatnya diri kita adalah milik Allah SWT. Bila kita bisa menekan rasa ego kita, insya Allah hidup tetap tenang walau di olok-olok atau difitnah, sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad shallallhu 'alaihi wasallam dahulu waktu berdakwah, beliau diolok-olok, difitnah, dilempari batu, bahkan sampai akan dibunuh oleh kaum kafir Quraisy, tapi karena Nabi benar-benar tawakkal pada Allah,maka Allah pun selalu melindungi beliau.

3. 'Adamul Lamz
Maksudnya tidak mencela orang lain. Ini ditegaskan dengan firman-Nya: "Dan janganlah kamu mencela diri sendiri'. Mencela sesama muslim, oleh ayat ini dianggap mencela diri sendiri, sebab pada hakekatnya kaum muslimin dianggap satu kesatuan. Apalagi jika celaan itu adalah masalah status dan standar kebendaan.

Allah sendiri menyuruh Rosul dan orang-orang yang mengikutinya untuk bersabar atas segala kekurangan orang-orang mukmin. Sebagaimana Firman Allah di QS. Al Kahfi : 28 yang terjemahnya “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

Misal mencela bodoh atau sesat atau tidak mendapat hidayah bagi yang berlawanan dengan pendapat kita. Bila kita terus mencela, maka kita akan semakin dijauhi karena menunjukkan kita tidak sabar, dakwah/mengajak kepada kebaikan harus dengan bijak dan tutur kata yang bagus sebagaimana petunjuk Allah SWT. agar semua orang bisa merasakan indahnya dan damainya agama Islam ini.

Kecuali bila kita terus-terusan difitnah/dicela sampai melampaui batas, maka kita wajib membela diri dan dengan tegas memperingatkan mereka. Demi kebaikan sesama muslim. Para sahabat, para ulama’ulama' ahlussunnah seperti Imam Madzhab yang 4, Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Baihaqi, Syekh Imam Ghozali, Syekh Abu Qosim al-Junaidi, Imam al-Qusyairi, Imam al-Maturidi tidak ada yang saling mencela walau berbeda pendapat masalah agama.

Misal menurut ijtihad Imam Maliki anjing tidak najis, sedang menurut Imam Syafi'i anjing najis, begitu pula cara wudlu’ menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i itu ada yang tidak sama, bila cara wudlu’ Imam Maliki wajib mengusap semua kepala tanpa telinga sedang cara wudlu Imam Syafii wajib mengusap sebagian kepala walaupun sedikit. Menurut Imam Maliki bersentuhan dengan wanita bukan muhrim selama tidak dengan telapak tangan tidak membatalkan wudlu’ sedang menurut Imam Syafii bersentuhan dengan wanita bukan muhrim dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya itu membatalkan wudlu’.

Cara sholat berjamaah (subuh,maghrib dan Isya’) menurut Imam Maliki, imam sholat tidak mengeraskan bacaan basmalah saat membaca surat Fatihah, sedang menurut Imam Syafii, imam sholat mengeraskan bacaan bismillah dalam fatihah saat sholat berjamaah, karena bismillah merupakan ayat pertama dari Fatihah menurut Imam Syafi'i

4. Tarkut Tanabuz
Yakni meninggalkan panggilan dengan sebutan-sebutan yang tidak baik terhadap sesama muslim. Ini berdasarkan firman Allah SWT: "Dan janganlah kamu saling memanggil dengan sebutan-sebutan (yang buruk)." (QS Al Hujurat :11)
Tanabuz dalam bentuk yang paling parah adalah berupa pengkafiran/penyesatan terhadap orang yang beriman. Pada kenyataannya masih saja ada orang atau kelompok yang dengan begitu mudahnya menyebut kafir/sesat kepada orang yang tidak tertarik untuk masuk ke dalam kelompok tertentu seperti golongan Khowarij.

5. Ijtinabu Katsirin minadzdzan
Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa." (QS Al Hujurat :12)
Pada dasarnya seorang muslim harus berbaik sangka terhadap sesamanya, kecuali jika ada bukti yang jelas tentang kesalahan tersebut.

6. Adamut Tajassus
'Adamut Tajassus adalah tidak mencari-cari kesalahan dan aurat orang lain. Perbuatan ini amat dicela Islam. Allah SWT amat suka bila kita berusaha menutup aib saudara kita sendiri. Firman Allah SWT: " Dan janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan (dan aurat) orang lain." (QS Al Hujurat :12)
Dari pada sibuk mencari kesalahan orang lain lebih baik kita bermuhasabah binafsihi agar kita jadi lebih baik dan terus lebih baik

7. Ijtinabul Ghibah
Allah SWT menegaskan:
"Dan janganlah kamu sekalian menggunjing sebagian lain.Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?…"(QS Al Hujurat :12)
Ghibah sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shallahu 'alihi wasallam adalah menceritakan keburukan dan kejelekan orang lain. Ketika seseorang menceritakan kejelekan orang lain, maka ada dua kemungkinan yang terjadi.
Pertama, jika yang diceritakannya benar-benar terjadi maka itulah ghibah. Kecuali untuk menjelaskan keburukan2 kelompok atau seseorang dg tujuan agar tidak banyak orang terpengaruh dan ikut sesat dg kelompok sesat atau orang2 yg sesat. Juga agar kaum muslim lebih waspada terhadap kelompok2 yang sesat dalam Islam yang nyata2 bertentangan dg Qur’an dan Hadits seperti gol. Khowarij,Syi’ah,Mu’tazilah dan Jabbariyah.
Kedua, jika yang diceritakannya itu tidak terjadi berarti ia telah memfitnah orang/kelompok lain.

Semoga kita semua bisa membaca dan memahami Qur’an dengan baik dan benar, juga semoga kita selalu dirahmati Allah sehingga mampu mengamalkan isi dari Qur’an tersebut….Aamiin Allahumma Aamiin.....

BID'AH HASANAH DAN DALILNYA

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).

“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).

Ternyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم

“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).

Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:

عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ r إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ r ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ r «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم.

“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).

Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:

وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ r فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري.

“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).

Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.

Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري.

“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ r وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ  وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.

“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).

Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.

Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.

Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).

“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”

Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.

Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.

Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”

Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”

Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.”

HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”

Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.

Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”

HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.

Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”

HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”

Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”

HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”

Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.

Di Islamic Center Jakarta Utara

Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.

Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.

Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.

Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.

Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.

Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.

Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:

قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤).

“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.

Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.

Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.

7 KEBIASAAN YANG BAIK YANG BISA MENJADIKAN SESEORANG SUKSES DI DUNIA DAN AKHIRAT

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Sering kali kita berpikir, bagaimana caranya agar kita bisa kaya secara materil dengan waktu cepat, tapi sedikit di antara kita tidak memikirkan arti kaya yang sebenarnya, kebiasaan kita sangat menentukan arah yang akan kita lalui, semoga ilmu yang sedikit ini bisa menjadi motivasi bagi kita semua dan ana harap semoga bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya...Aamiin Allaahumma Aamiin.....

1. Kebiasaan bersyukur

Ini adalah kebiasaan istimewa yang bisa mengubah hidup selalu menjadi lebih baik. Bahkan agama mendorong kita bersyukur tidak saja untuk hal-hal yang baik, tapi juga dalam kesusahan dan hari-hari yang buruk. Ada rahasia besar di balik ucapan syukur yang sudah terbukti sepanjang sejarah. Hellen Keller yang buta dan tuli sejak usia dua tahun, telah menjadi orang yang terkenal dan dikagumi di seluruh dunia. Salah satu ucapannya yang banyak memotivasi orang adalah, “Aku bersyukur atas cacat-cacat ini, aku menemukan diriku, pekerjaanku dan Tuhanku”. Memang sulit untuk bersyukur, namun kita bisa belajar secara bertahap. Mulailah mensyukuri kehidupan, mensyukuri berkat, kesehatan, keluarga, sahabat, dan sebagainya. Lama kelamaan Anda bahkan bisa bersyukur atas kesusahan dan situasi yang buruk.

Hal ini sesuai dengan janji Allah yang termaktub dalam Qur'an Surat Ibrahim ayat 7 yang terjemahnya "Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".

Begitu juga sesuai dengan sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam:
"Seutama-utamanya do'a adalah Alhamdulillaah" (HR. Turmudzi)

2. Kebiasaan berpikir positif

Hidup kita dibentuk oleh apa yang paling sering kita pikirkan. Kalau selalu berpikiran positif, kita cenderung menjadi pribadi yang yang positif. Ciri-ciri dari pikiran yang positif selalu mengarah kepada kebenaran, kebaikan, kasih sayang, harapan dan suka cita. Sering-seringlah memantau apa yang sedang Anda pikirkan. Kalau Anda terbenam dalam pikiran negatif, kendalikanlah segera ke arah yang positif. Jadikanlah berpikir positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif sebagai kebiasaan dan lihatlah betapa banyak hal-hal positif yang akan Anda alami.

3. Kebiasaan berempati

Kemampuan berhubungan dengan orang lain merupakan kelebihan yang dimiliki oleh banyak orang sukses. Dan salah satu unsur penting dalam berhubungan dengan orang lain adalah empati, kemampuan atau kepekaan untuk memandang dari sudut pandang orang lain. Orang yang empati bahkan bisa merasakan perasaan orang lain, mengerti keinginannya dan menangkap motif di balik sikap orang lain.

Ini berlawanan sekali dengan sikap egois, yang justru menuntut diperhatikan dan dimengerti orang lain. Meskipun tidak semua orang mudah berempati, namun kita bisa belajar dengan membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan yang empatik. Misalnya, jadilah pendengar yang baik, belajarlah menempatkan diri pada posisi orang lain, belajarlah melakukan apa yang Anda ingin orang lain lakukan kepada Anda, dan sebagainya.

4. Kebiasaan mendahulukan yang penting

Pikirkanlah apa saja yang paling penting, dan dahulukanlah. Jangan biarkan hidup Anda terjebak dalam hal-hal yang tidak penting sementara hal-hal yang penting terabaikan. Mulailah memilah-milah mana yang penting dan mana yg tidak, kebiasaan mendahulukan yang penting akan membuat hidup Anda efektif dan produktif dan meningkatkan citra diri Anda secara signifikan.

5. Kebiasaan bertindak

Bila Anda sudah mempunyai pengetahuan, sudah mempunyai tujuan yang hendak dicapai dan sudah mempunyai kesadaran mengenai apa yang harus dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah bertindak. Biasakan untuk mengahargai waktu, lawanlah rasa malas dengan bersikap aktif. Banyak orang yang gagal dalam hidup karena hanya mempunyai impian dan hanya mempunyai tujuan tapi tak mau melangkah.

6. Kebiasaan menabur benih

Prinsip tabur benih ini berlaku dalam kehidupan. Pada waktunya Anda akan menuai yang Anda tabur. Bayangkanlah, betapa kayanya hidup Anda bila Anda selalu menebar benih ‘kebaikan’. Tapi sebaliknya, betapa miskinnya Anda bila rajin menabur keburukan.

Hal ini sesuai dengan Firman Allah Ta'ala dalam Qur'an Surat az-Zalzalah ayat 7 dan 8 yang terjemahnya:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.

7. Kebiasaan hidup jujur

Tanpa kejujuran, kita tidak bisa menjadi pribadi yang utuh, bahkan bisa merusak harga diri dan masa depan Anda sendiri. Mulailah membiasakan diri bersikap jujur, tidak saja kepada diri sendiri tapi juga terhadap orang lain. Mulailah mengatakan kebenaran, meskipun mengandung resiko. Bila Anda berbohong, kendalikanlah kebohongan Anda sedikit demi sedikit.

Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lidahnya." 

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjadikan syarat lurusnya iman dengan lurusnya hati, kemudian menjadikan syarat lurusnya hati dengan lurusnya lisan (kejujuran).

Kadang seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan dan tanpa dipertimbangkan sebelumnya, sehingga menimbulkan kerugian dan penyesalan.
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”. (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena ucapan yang mubah dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam”. (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)

Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala yang ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman: “Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS. Qoof ayat 18)

Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi, disebutkan suatu riwayat dari Ibnu Umar rodliyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
"Janganlah memperbanyak kata (bicara) selain dzikrullah, karena banyak bicara selain dzikrullah menjadikan hati keras. Dan orang yang terjauh dari Allah adalah yang berhati keras." 

IMAM SYAFII DAN PARA SUFI

Oleh : Imam Nawawi
Semoga dengan FAKTA ini, tidak ada lagi yang salah faham dengan maksud Imam Syafii yang termaktub dalam kitab Manaqib Al Imam as-Syafii karya Imam Baihaqi, beliau mencela itu hanya pada oknum sufi dan bukan sufi yang sesungguhnya.

Di beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan, “Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.

Imam As Syafi’i juga menyatakan,”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena prilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini,”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmahdan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka.” (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)


Imam As Syafi’i Memuji Ulama Sufi

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalangan sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Dengan demikian, pernyataan yang menyebutkan bahwa Imam As Syafi’i membenci total para sufi tidak sesuai dengan data sejarah, juga tidak sesuai dengan pemahaman para ulama mu’tabar dalam memahami perkataan Imam As Syafi’i.


Rujukan:
1. Manaqib Al Imam As Syafi’i, karya Al Baihaqi, t. As Sayyid Ahmad Shaqr, cet.Dar At Turats Kairo, th.1390 H.
2. Madarij As Salikin, karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cet. Al Mathba’ah As Sunnah Al Muhamadiyah, th. 1375 H.
3. Adab As Syafi’I wa Manaqibuhu, karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, th. 1424 H.

KESELARASAN NILAI-NILAI PANCASILA DENGAN AJARAN ISLAM

Oleh : Renold

Dewasa ini banyak kalangan yang membincangkan kembali relevansi Pancasila dengan kondisi bangsa saat ini. Pancasila kini mulai terpinggirkan dari kancah pergaulan kebangsaan dan imbasnya, mungkin saja akan tergantikan dengan ideologi lain. Hal itu tidak akan terjadi bila semua pihak dan segenap elemen bangsa, konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai dasar negara dan sebagai sumber hukum positif yang berlaku.

Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998 dan dilanjutkan dengan era reformasi yang ditandai dengan kebebasan disegala bidang, kebebasan tersebut juga turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif atau radikal. Kelompok-kelompok tersebut sekarang bebas untuk secara lantang atau secara sembunyi-sembunyi memperjuangkan kembali kepentingan politis dan ideologinya. Ironisnya perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia. Banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang dikembangkan dari obsesi kelompok tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya.

Tumbangnya Orde Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multi-dimensi. Krisis tersebut terjadi di bidang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Selanjutnya kelompok tersebut menganggap bahwa Islam dalam segala varian bentuknya merupakan solusi atas segala problem yang ada. Oleh karena itu slogan perjuangan mereka jelas, misalnya al-Islamu huwa al-halu (Islam adalah solusi) ataupun al-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah (Islam adalah agama dan sekaligus negara).

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, jadi bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler. Kalimat ini bagi beberapa pihak mungkin masih dirasa ambigu, apalagi bagi pihak-pihak yang tidak familiar dengan problem ideologi suatu bangsa. Bertumpu pada kenyataannya, fakta historis telah membuktikan bahwa itulah cara terbaik (the right way) bagi masyarakat Indonesia untuk mendiskripsikan ideologi negara. Pancasila merupakan ringkasan dari kompromi dan persetujuan yang sebelumnya amat sulit dicapai di antara para founding fathers pendiri negara ini.
Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan dan memberikan teladan kepada umat Islam tentang bagaimana hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan ras, suku bangsa, dan agama. Sebagaimana hal ini telah termaktub dalam Piagam Madinah (Nasution, 1985: 92). Mengenai urusan ke duniawian, umat Islam diberikan kebebasan untuk mengaturnya, namun tetap harus dilandasi olehta’abbud. Tanpa tujuan ta’abbud ini, niscaya kehidupan yang dijalani menjadi kosong tanpa tujuan yang berarti.

Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, materinya sudah ada sebelum bangsa Indonesia ada, hanya saja rumusannya secara formal baru terrealisasi sekitar tahun 1945. Apabila ada yang menyatakan bahwa hari lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945, itu hanya sekedar pemberian nama saja, bukan materi Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara dapat didefinisikan sebagai suatu ideologi negara yang berketuhanan berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Tokoh-tokoh kenegaraan Indonesia merumuskan Pancasila bukan mengada-ada, tetapi memang demikian keadaannya. Direnungkan dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, yang selanjutnya memang dikehendaki oleh bangsa Indonesia dalam bernegara sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian kedudukan Pancasila selain sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila juga sebagai jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia (Kaelan, 1998:  62).

Pancasila pada dasarnya mampu untuk mengakomodir semua lini kehidupan Indonesia. Pancasila harus dijadikan alat kesejahteraan, bukan alat kepentingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak perbedaan. Perbedaan itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan YME. Akan lebih baik jika perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan ataupun diperuncing, namun dipersatukan dan disintesiskan dalam suatu sintesa yang positif dalam bingkai negara Kersatuan Republik Indonesia (Notonagoro, 1975: 106).

Menurut Notonogoro (dalam Bakry, 2008: 39) sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang susunannya adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Sila pada Pancasila saling menjiwai dan dijiwai. Sila yang di atasnya menjiwai sila yang di bawahnya, tetapi sila yang di atasnya tidak dijiwai oleh sila yang di bawahnya. Sila yang di bawahnya dijiwai oleh sila yang di atasnya, tetapi sila yang di bawahnya tidak menjiwai sila yang di atasnya. Sebagai contoh nilai-nilai Ketuhanan menjiwai nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, sebaliknya nilai Ketuhanan tidak dijiwai oleh nilai-nilai Kemanusiaan Persatuan Kerakyatan dan Keadilan, begitulah seterusnya.

Pancasila juga merupakan ideologi terbuka (Bakry, 2008: 69-70). Ciri-ciri ideologi terbuka antara lain adalah realis, idealis dan fleksibel. Bersifat realis karena Pancasila sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia yang mencerminkan keanekaragaman ras, suku serta kepercayaan. Besifat idealis karena Pancasila merupakan konsep hasil pemikiran yang mengandung harapan-harapan, optimisme, serta mampu menggugah motivasi pendukungnya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakan. Bersifat fleksibel karena Pancasila dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus-menerus berkembang dan sekaligus mampu memberi arah melalui tafsir-tafsir baru yang konsisten dan relevan. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi, dasar negara serta kepribadian bangsa telah menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.

Negara Indonesia memiliki dasar dan ideologi Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara agama (paham Theokrasi) atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu (Suhadi, 1998: 114). Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan YME. Dengan demikian makna negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara yang memilki sifat kebersamaan, kekeluargaan dan religiusitas.

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.

1. Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.

2. Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.

3. Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.
Selain hal-hal di atas, keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan masing-masing sila dengan ajaran Islam, akan dijelaskan melalui uraian di bawah ini.

1. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT.  Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163. Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia, yang disembah.

2. Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa’idah ayat 8.

3. Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara.  Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.

4. Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang didasari oleh hikmad kebijaksanaan. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan syura (musyawarah). Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 159.

5. Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.

Berdasarkan penjelasan di atas, sebenarnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Sikap umat Islam di Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan.

Dengan demikian sudah semestinya tercipta kebersamaan antara golongan nasionalis dan golongan Islam di bumi pertiwi ini. Semoga suatu saat nanti terwujud kebersamaan antara golongan nasionalis (kebangsaan) dengan golongan Islam, sehingga terwujud suatu masa ketika PANCASILA BERTASBIH.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...